Jumat, 23 Mei 2014

THE LIGHT IN DARKNESS

Anna and Fharid
Ilustration by Red Cat




Tittle : THE LIGHT IN DARKNESS
Author : Team O (Red Cat, Eni Hariani, Chusnul Chotimah, dan Dedy Aprianto)
Genre : Slice of Life with a little romantice ^_^

Sypnosis:  
Fharid seorang pemuda yang sangat menyukai hobinya yaitu menggamabr dan memutuskan untuk menjadi seorang komikus, di mana keputusannya sangat ditentang oleh ayahnya. Fharid kemudian di beri waktu selama 1 tahun oleh ibunya untuk membuktikan bahwa dia bisa menjadi seorang komikus yang sukses. Setahun pun berlalu, semua kesempatan itu lenyap ditelan badai. Fharis kehilangan segalanya, cita-citanya, semangatnya, bahkan pacarnya pun ikut melayang. Karea frustasi berat, Fharid pun memutuskan untukbunuh diri dan di situlah ia bertemu dengan seorang gadis yang memberinya semangat baru dalam lembaran hidupnya.

================================================
Selamat membaca ^_^
Dan bila ada yang menangis saat membaca cerpen kami, kami tak akan bertanggung jawab *kabuuur*
================================================

The Light in Darkness
© Team O

================================================

[Part 1]

Mendung kelabu menggantung rendah di langit kotaku, mengiringi langkah gontaiku menelusuri trotoar berdebu. Sebuah tas lusuh berwarna biru yang sejak tadi tergenggam erat di pelukanku, kini terasa berat seperti batu. Sesekali terdengar gemuruh suara petir di kejauhan, seolah-olah menjadi gema dari gemuruh suara hatiku yang tengah dilanda kegalauan. Tatapan mataku yang kosong mencoba untuk menyapu pepohonan yang berdiri rapi di sepanjang tepi jalan, sementara pikiranku yang sudah dipenuhi benang kusut terus saja memutar kembali rekaman kejadian tadi siang….

“Maaf, kami belum bisa menerima naskah komikmu saat ini,” ujar mas Hendra, seorang editor komik di sebuah penerbitan terkenal di kotaku.

“Tapi saya sudah membuat revisi sesuai dengan tips yang mas Hendra berikan lewat e-mail. Saya juga sudah berkonsultasi dengan teman-teman komikus, dan mereka bilang komik saya lumayan bagus,” sergahku dengan harap-harap cemas.

“Sekedar bagus saja tidak cukup,” jawab mas Hendra dengan enteng sambil mengambil selembar naskah komikku. Lalu ia berdiri dan menunjuk-nunjuk naskah komikku yang sedang dipegangnya dengan wajah serius.

“Kamu tahu? Saya sudah menolak 31 orang komikus yang gambarnya lebih bagus dari ini. Kalian mungkin cocok sebagai illustrator, tapi tidak sebagai komikus. Cerita kalian payah!” kata mas Hendra dengan nada tinggi. Aku mulai merasa tidak nyaman. Melihatku mengkerut, mas Hendra menurunkan nada suaranya.

“Kalian tidak punya sesuatu yang menarik untuk disampaikan. Kalaupun ada, seringkali kalian hanya menggambar dengan tangan dan otak kalian, tapi tidak dengan penuh perasaan. Apakah kalian merasa komik seperti itu pantas untuk dijual melalui jaringan toko kami?” lanjut mas Hendra sambil meletakkan kembali naskah komikku ke atas meja. Aku ingin menyanggah perkataannya, namun suaraku tercekat di kerongkongan.

Setelah itu mas Hendra memberiku beberapa nasehat yang akhirnya hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan karena aku sudah tidak konsen lagi untuk mendengarkannya. Aku hanya menunduk lesu. Lagi-lagi aku ditolak, desahku dalam hati. Penerbit tempat kerjanya mas Hendra adalah salah satu dari lima penerbit besar yang kudatangi untuk pitching komikku. Dengan senyuman yang canggung, kututupi rasa kesal, marah dan sedihku sambil berterima kasih pada mas Hendra atas waktu yg telah ia berikan padaku. Aku pergi meninggalkan kantor penerbitan itu dengan wajah menunduk untuk menyembunyikan mataku yang berkaca-kaca.

Seandainya hanya itu saja kejadian buruk yang kualami hari ini, aku masih bisa menerimanya. Ini masih lebih baik daripada kejadian setahun lalu saat aku bertengkar dengan ayahku. Saat itu beliau memintaku untuk masuk jurusan akuntansi selepas lulus SMU agar aku dapat menjadi penerus usahanya. Tentu saja aku menolak karena aku sudah punya impian untuk menjadi seorang komikus profesional. Mendengar hal itu, ayah langsung menamparku dan mengancam akan mengusirku dari rumah bila aku tetap lebih memilih ngomik. Ia bahkan mengambil koleksi komik kesayanganku dan merobeknya hingga hancur lebur di depan mataku karena ia merasa komik itu telah meracuni hidup anaknya. Untung saja saat itu ibu langsung melerai kami dan membujuk ayah dengan kata2 manis. Ibuku selalu mengerti perasaanku. I love you, Mom.

Berkat bantuan dari ibuku, akhirnya aku diberi kesempatan selama setahun untuk membuktikan kalau aku bisa jadi komikus. Pacarku yang sekaligus teman masa kecilku pun selalu memberiku dukungan moral. Di sela-sela kesibukannya sebagai mahasiswi tahun pertama di sebuah universitas negeri di Depok, ia masih menyempatkan diri untuk hangout denganku dan mendiskusikan ide-ide cerita baru untuk komikku. Ia juga sering mengajak teman-teman facebooknya untuk memberikan kritik dan saran atas contoh naskah komikku yang kupajang di sebuah blog komik. Saat itu aku merasa semuanya akan berjalan mulus sesuai rencanaku. Namun takdir rupanya masih ingin bermain-main denganku.

Tak terasa, hampir setahun sudah berlalu. Dari semua penerbit yang kudatangi, tak ada satupun yang mau menerima komikku. Pacarku pun entah kenapa mulai menjauh dariku. Dengan berbagai cara kucoba mengungkap apa yang sebenarnya terjadi, namun ia lebih memilih untuk mengunci bibirnya rapat-rapat. Sampai akhirnya pagi ini ia mengirimkan sebuah sms. Ia meminta untuk putus denganku. Aku tak habis pikir. Apa sebenarnya salahku hingga aku dicampakkan seperti ini?

Aku sudah berniat untuk mendatangi rumahnya sore ini sepulang dari pitching komik. Setidaknya aku perlu tahu apa alasan sebenarnya mengapa ia sudah tidak ingin bersamaku lagi. Namun di tengah jalan, aku melihatnya berduaan dengan seorang pria setengah baya di dalam sebuah mobil mewah. 

Aku tahu pria itu bukanlah ayah, kakak ataupun kerabatnya, karena aku sudah pernah lihat foto-foto keluarganya. Mereka terlihat sangat mesra layaknya sepasang kekasih. Hatiku panas layaknya baja yang sedang dilebur. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak. Tanpa tengok kiri-kanan, segera kuseberangi jalanan yang sedang dipadati oleh kendaraan yang merayap itu, menuju ke mobil Toyota Fortuner yang tepat berada di depan lampu merah..

“Nita! Sedang apa kau di sini? Siapa laki-laki itu?” teriakku sambil menyandarkan tangan kiriku pada kaca jendela mobil tepat di sebelah tempat duduk pacarku itu.

Aku menggedor-gedor jendelanya dengan tangan kananku dengan niat untuk memintanya membukakannya untukku. Nita terlihat kaget, dan langsung pucat begitu melihatku ada di samping mobil. Aku tak tahu apa yg setelah itu ia ucapkan pada sang pria yang ada di sebelahnya karena jendelanya kedap suara, namun mobil itu tiba-tiba tancap gas. Tubuhku terlempar ke samping dan jatuh menimpa sebuah motor. Tanganku langsung melepuh terkena panasnya kenalpot.

“Aduhhh!!!” teriakku spontan sambil menjauhkan tubuhku dari kenalpot motor itu.

Saat aku menengok ke belakang, mobil fortuner yang tadi ditumpangi pacarku sudah ngacir tak terkejar lagi. Orang-orang yang ada di sekitarku hanya melirik sebentar ke arahku lalu kembali ke urusannya masing-masing, tak ada satupun yang peduli atau berusaha untuk menolong.

Saat lampu merah berganti hijau, aku hanya berdiri mematung di sana sampai akhirnya seorang satpam mendatangiku dan menuntunku untuk pindah ke trotoar. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang kulakukan. Aku hanya berjalan dan terus berjalan sambil menggigit bibirku sendiri. Kini bibirku mulai terasa perih, namun luka di hatiku masih jauh lebih pedih.

‘BRUK!!’

“Ah, Maaf!”

Suara seseorang menyadarkanku dari lamunanku. Seorang pria setengah baya berjaket dan celana jeans rupanya telah bersenggolan denganku dan membuat tasku terjatuh. Ia membuat gesture minta maaf dengan tangannya, lalu buru-buru pergi. Orang aneh, pikirku sambil terdiam sejenak. Lalu aku berjongkok untuk mengambil tasku dan saat itulah aku baru tersadar kalau ada sesuatu yg hilang…

“Dasar pencopet sialan!!” teriakku sekuat tenaga setelah meraba-raba kantong celanaku dan mendapati dompetku sudah tak ada lagi di situ. 

Dompet itu berisi KTP dan sisa tabunganku yang baru saja kuambil tadi pagi. Buru-buru kukejar pria sialan itu, namun ia sudah menghilang entah ke mana. Kepalaku terasa panas, dadaku sesak seperti mau meledak. Aku berlari seperti orang kesetanan. Kucoba mencari-carinya ke berbagai tempat, sampai akhirnya aku benar-benar kelelahan dan tiba di ujung sebuah jembatan tua yang melintasi sungai Ciliwung.

Dengan nafas terengah-engah, kuseret kedua kakiku menuju pagar jembatan untuk beristirahat. Jembatan besi ini konon dibuat pada masa penjajahan belanda. Panjangnya sekitar 80 meter dan lebar 7 meter, berdiri sekitar 40 meter di atas kali Ciliwung yang arusnya cukup deras. Karena usianya sudah sangat tua, konstruksi jembatan ini sudah mengalami kerusakan di mana-mana. Pagar jembatannya banyak yang hilang dan sudah berkarat. 

Tanah di bawah pondasi tiang utama jembatan sudah setengahnya hilang tergerus arus banjir. Aspal penutup jalannya pun sudah berlubang-lubang. Kondisi jembatan ini sudah sedemikian mengkhawatirkan sehingga lalu lintas kendaraan tidak lagi diperbolehkan melalui jembatan ini dan dialihkan ke jembatan baru yang ukurannya jauh lebih besar yang berlokasi tak jauh dari sini.

Aku berdiri bersandar di pagar jembatan sambil memandangi riak-riak air yang mengalir di bawahku. Airnya mengalir deras dan berwarna lebih kecoklatan. Mungkin di daerah Bogor baru saja turun hujan. Perutku mulai keroncongan. Seharian ini aku lupa makan. Dan kini dompetku hilang. Sial benar aku hari ini.. rasanya ingin bunuh diri saja!

“OH TUHAN.. JIKA ENGKAU BENAR-BENAR BISA MEMBERIKAN KEAJAIBAN, TUNJUKKANLAH PADAKU APA YANG HARUS KULAKUKAN,” teriakku lirih sambil menatap langit. Bayu berhembus menembus relung-relung kalbu, diiringi suara guruh bersahutan di antara awan kelabu. Lalu tiba-tiba terdengar suara merdu di belakangku.

“Tolong aku...”

“Hah? Tuhan.. apakah itu suaramu?” tanyaku sambil tengok kiri-kanan. Tak ada siapapun di sekitarku. Aku mengucek-ngucek mataku. Tetap tidak ada orang di sini.

“Bukaaaaan, itu suarakuuuu!!!” kata suara itu lagi dengan nada yg lebih tinggi.

Aku bergegas mencari arah suara itu, dan kudapati seorang gadis sedang tergantung di pinggir jembatan. Bajunya tersangkut pagar jembatan yang patah dan melengkung ke arah luar. Gadis itu lumayan manis. Rambutnya hitam panjang sepinggang. Tingginya sekitar 150 cm. Wajahnya agak kekanak-kanakan dengan mata besar dan hidung yang mungil. Kulitnya kuning langsat terlihat serasi dengan sundress yang dipakainya. Dilihat dari penampilannya, menurutku gadis ini berumur 14-15 tahun.

“Kamu lagi ngapain di situ?” tanyaku dengan penasaran. Jangan-jangan dia mau bunuh diri?

“Aku tadi mau bunuh diri, tapi gagal...” jawabnya dengan malu-malu sambil pura-pura menggaruk kepalanya. Gadis yang aneh... aku tak tahu apakah ia cuma bercanda atau memang ia adalah seorang airhead.

“Lalu aku disuruh bantu apa? apa aku harus bantu ceburin kamu ke sungai?” tanyaku dengan nada bercanda.

“Jangan... aku tadi lupa ngasih makan kucingku.. jadi aku belum bisa bunuh diri sekarang.... ehehe.”

“...”

Dasar orang gila. Aku tak tahu apakah aku harus menolongnya atau membiarkannya tergantung di situ. Aku pun berdiri dan pura-pura hendak pergi.

“Tunggu...!! Kenapa kamu malah pergi!?

“Memangnya kenapa?”

“Tolongin aku dulu dong.. masa’ langsung pergi gitu aja?” pintanya sambil menggembungkan pipinya. Entah kenapa, wajah cemberutnya ini terlihat lucu bagiku, dan membuatku ingin menggodanya.

“Jadi aku harus bantuin kamu? boleh aja, tapi... wani piro?” jawabku sambil nyengir dan membuat isyarat minta uang dengan jariku. Pasti dia bakal tambah cemberut... hehehe.

“Um... lima ribu rupiah?” usulnya sambil memperlihatkan wajah polosnya. Giliran aku yg kaget karena reaksinya ternyata gak sesuai dugaanku. Ini bisa jadi sesuatu yang menarik.

“Masih kurang. Tambahin lagi!”

“Um... lima belas ribu?”

“Belum cukup. Sedikit lagi!”

“Lima puluh ribu?”

“OK.”

“Tapi aku lagi gak bawa duit. Ngutang boleh ya?”

“pffffttt!!!” aku mencoba menahan tawaku.

“Kok malah ketawa?” tanyanya lagi dengan wajah polos.

“Enggak apa-apa. Sini, ulurkan tanganmu.. nanti kutarik ke atas.”

Gadis itu mengulurkan tangannya ke arahku. Saat kusentuh, tangannya terasa halus seperti beludru, tapi entah kenapa dingin seperti es. Kugenggam tangan itu erat-erat lalu kutarik sekuat tenaga ke arahku. Di luar dugaanku, tubuhnya ternyata sangat ringan. Beberapa menit kemudian, kami sudah berada di atas jembatan.

“Terima kasih sudah menolongku,” kata gadis itu sambil membungkukkan badan.

“Sama-sama. Oh iya, namaku Fharid. Kalau kamu?”

“Namaku Anna.”

“Nama yang cantik, secantik pemiliknya,” pujiku dengan tulus. Anna hanya tersenyum, lalu memalingkan mukanya. Sekilas kulihat telinganya merona merah.

“Oh iya.. kenapa kamu sampai mau bunuh diri?”

“Itu... panjang ceritanya....” jawab Anna sambil menunduk. Rona merah yang tadi kulihat sudah menghilang, dan berganti dengan nuansa kesedihan.

Anna mengaku kalau dirinya menderita gangguan kesehatan sehingga tidak bisa menjalani hidup selayaknya teman-teman sebayanya. Untuk mengisi hari-harinya, ia mencoba membuat karya fiksi dan berharap suatu hari ada salah satu karyanya yang berhasil dan menjadi legacy-nya di dunia ini. Tapi ternyata dunia penerbitan tidaklah semudah yang ia bayangkan. 

Kegagalan demi kegagalan membuatnya putus asa, apalagi setelah kemudian ia mengetahui kalau orang tuanya ternyata harus menggadaikan rumahnya untuk biaya pengobatan penyakitnya. Ia merasa ingin mati saja daripada hidup berlama-lama menyusahkan kedua orang tuanya. Mendengar cerita Anna, aku mulai termenung. Entah kenapa aku merasa sangat berempati dengan ceritanya. Mungkin karena kami berdua sama-sama gagal dalam perjuangan kami menggapai cita-cita kami...

“Kau tahu? aku ini seorang komikus. Tapi semua penerbit menolak karyaku karena mereka bilang ceritaku jelek,” ujarku pada Anna, mencoba untuk membuatnya merasa lebih ringan.

“Benarkah? Seperti apa komikmu?” tanya Anna dengan pandangan penuh rasa ingin tahu.

Aku segera merogoh tas biruku yang sudah lusuh dan mengeluarkan beberapa amplop besar berisi naskah komikku. Kami berdua membaca komikku satu demi satu. Anna terlihat sangat terhibur membaca komikku. Matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang diajak bermain ke istana permen. Sesekali ia berkomentar tentang cerita komikku.

“Komik ini bagus, tapi seharusnya jalan ceritanya tidak seperti ini,” komentar Anna setelah selesai membaca naskah komikku. “Aku bisa membantumu membuatkan cerita yang lebih bagus... itu kalau kamu mau sih...” lanjutnya dengan ragu-ragu.

“Tentu saja aku mau!” jawabku dengan bersemangat. “Bagaimana kalau kita bertemu lagi hari minggu ini di depan mall?”

“Hari minggu ya? boleh... jam berapa?”

“Aku tunggu kamu di sana pukul 1 siang. Gimana?”

“OK.”

Tak kusangka, setelah dipenuhi kesialan, ternyata hari ini aku masih diberi kemujuran oleh Tuhan. Setelah mengantar Anna sampai ke depan rumahnya, aku pun kembali pulang ke rumahku. Aku tak sabar menunggu datangnya hari minggu.


================================================

The Light in Darkness
© Team O

================================================

[Part 2]

Suara alarm dari jam yang kupasang pun berbunyi, sambil meraih jam tersebut dengan tangan kananku, aku pun teringat dengan janji yang telah kami buat hari minggu ini. Ya...sebuah janji kencan. Walau ini kedua kalinya aku kencan dengan seorang perempuan, entah mengapa, walaupun dia bukan pacarku yang sesungguhnya, degupan jantungku agak terasa sedikit kencang dari biasanya.

“Yosh...Semua sudah siap, uang buat beli-in dia sesuatu juga sudah ku siapkan, motor juga sudah kupanaskan sejak tadi. Jadi, semuanya sudah siap. Sekarang tinggal menunggu nasi masak dan SMS dari Anna.”

Aku pun pergi menuju ke ruang tengah atau bisa di bilang ruang keluarga kami, di sana terdapat 4 sofa empuk, 1 meja memanjang dan sebuah TV, sesaat sebelum aku duduk. Aku pergi kebelakang untuk mengecek apa nasinya sudah matang atau belum.

“Sudah matang toh, ya sudah..lebih baik aku sarapan dulu.”
Aku pun mengambil piring dan sebuah sendok serta mengambil lauk pauk yang akan kumakan. Sebelum makan lebih baik berdoa yaaah. heheheh.

“Selamat makan,” ucapku.

‘TING NUNG’

Suara HP yang berbunyi di sampingku.

“Hmm...Dwari siap---uhuk..uhuk---”

Aku tersedak.

“Apa?! Dia sudah minta jemput?!”

Makanan yang kumakan berjatuhan ke piring.

“Aduh! Gawat! Makananku belum selesai lagi. Ah biarlah. Asalkan sudah makan 2-3 sendok.”

Aku segera ngeloyor pergi dari meja makan.

“Bu, aku pergi dulu,” ucapku terburu buru

“Oh iya, nanti ibu jalan ke tempat teman ibu, kalau mau makan tinggal panaskan sarden yang ada di lemari yah,” sahut ibuku.

“Oke, Bu.”

Aduh...bagaimana ini??? Aku harus ngebut nih karena dia sudah menyuruhku untuk menjemputnya...aku tidak boleh mengecewa----

“Pagi Fharid, ” sapa Anna.

“A-Anna. Ke-kenapa kamu ada di sini, bu-bukannya aku sudah bilang kalau aku akan ke rumahmu unt-”

“Ayolah, aku ingin melihat wajahmu di pagi hari yang penuh senyum itu.”

“Hah? A-apa ma-maksudmu?” ujarku sedikit tersipu.

“Nggak kok, tadi itu cuman bercanda,” ucap Anna sambil tersenyum.

“Imut....”

“Hmm? Apa kamu bilang sesuatu?” tanyanya padaku.

“A-ah. Ngggak ada kok, mungkin hanya perasaanmu doang. Hehehe. Sebentar yah."

Aku pergi kebagasi di belakang rumah untuk mengambil motorku, motor pertamaku, motor pemberian ayahku akupun menyalakan motor tersebut dan langung masuk Gear 1.

“Anna, ayo naik, akan ku antarkan kemanapun kau mau bahkan sampai ke hatiku sekalipun.”

“Nge-gombal segala, aku cuman mau kamu bawa pelan-pelan ajah....”

Dengan hati-hati dia pun menaiki motorku dengan perlahan bak putri raja.

“Mau kemana neng? abang antar deh....”

“Kenapa kamu berlagak sebagai tukang ojek segala sih??? Ayo langsung pergi ke sana aja.”

“Oke tuan putri.”

Aku pun menancapkan gas motorku hingga full, dan secara perlahan menaikkan gear...serta memantau jalan sekitar, dan ternyata lampu di depan kami sudah menjadi merah....dan setelah beberapa saat menunggu lampu pun sudah menjadi hijau.

“Tancap gas neng...” itulah ucapanku saat lampu berubah menjadi warna hijau terang...

“Eh...tung-”

Terkaget motor yang kendarai pun melaju sampai 50 km dalam sekejap mata, dan hal yang ku rasakan saat ini adala---

“Ahhh. Bodoh...! jangan bawa motor laju-laju, pelan-pelan saja bisa kan?! protesnya.

“Hahaha..aku bercanda kok...ini juga aku sudah pelankan......”

“Humph, jantungku hampir copot tadi....kamu harus bertanggung jawab dengan membelikan ku satu set pensil warna.”

“Hah? Buat apa?”

“Rahasia.”


***


“Hmm...jadi di sini yah tempat yang ingin kau kunjungi, sungguh tempat yang besar,” ucap Ana terkagum-kagum.

“Di sini tempat menjual peralatan untuk membuat komik yang murah dan lengkap, dan ini salah satu tempat andalanku.”

“Jadi begitu....ya sudah, ayo kita pergi mencari sesuatu yang kau inginkan.”

“Semoga uangku cukup,” gumamku.

“Hmm? kamu bilang apa tadi” tanya anna kepadaku.

“Nggak kok, ayo pergi.”

Beberapa jam kami habiskan berada di mall yang besar tersebut, aku melakukan apapun yang anna inginkan, dari membelikan ini dan itu ataupalah itu, tapi dari semua itu dia memberikanku sebuah hadiah yang akan ku jaga baik baik, setelah melakukan banyak hal di hari minggu tersebut, kami pun bersiap siap pulang

“Apa sudah tidak ada yang kamu inginkan lagi, An?”

“Nggak ada kok, ayo pulang.”

Kamipun pulang dengan membawa beberapa alat gambar dan sebagainya, agak berat sih tapi apa peduliku, selama dia senang. Haripun berlalu, malampun berlanjut...akupun pulang dengan perasaan yang agak sedikit senang, akupun mandi makan. Nonton sejenak dan tidur se awal mungkin agar besok senin dapat bersiap siap dahulu.

Setelah hari Minggu tersebut, hari-hariku pun terasa lebih bewarna di banding beberapa bulan lalu, hari demi hari kami semakin dekat. Kami sering jalan bersama ke kebun binatang, ke museum, shopping ke mall, ke TMII dan ke Ancol.  

Kebersamaan kami telah membuatku merasakan suatu getaran yang amat berbeda. Aku tak yakin getaraan apa ini? Atau jangan-jangan ini adalah....cinta? benarkah perasaanku ini adalah cinta? Tidak mungkin kan? Hahaha. Terserahlah. Aku akan coba besok untuk menyatakan perasaanku dengan sebuah gambar semoga dia menerimanya.


================================================

The Light in Darkness
© Team O

================================================

[Part 3]

Aku berkali-kali berkaca dan berpose sekeran mungkin (dan selfi sejenak. Hahaha). Setelah aku merasa diriku sudah macthing, dengan sangat bersemangat aku langsung pergi ke jembatan tersebut. Aku terus menunggu Ana dari pagi hingga sore hari. Aku sangat bosan menunggu dan menelpon Ana tetapi tak ada jawaban. Hal itu terus berulang hingga baterai ponselku telah habis. Aku terpaksa pergi ke rumah Ana dengan perut keroncongan karena belum makan dari siang tadi.

Aku mengetok pintu rumah Anna. Pintu pun terbuka, dan yang membuka pintu tersebut adalah seorang anak perempuan berambut coklat pendek dengan twintail bagian bawah dengan wajah yang cukup menakutkan bagiku untuk anak perempuan seusianya. Anak itu tidak mengatakan apa-apa dan terus menatapku dengan tatapan yang sama. Aku pun tidak kuat menatap tatapan anak tersebut dan memberanikan diri untuk bertanya pada anak itu tentang keberadaan Anna, tatapan anak itu semakin menakutkan hingga pada akhirnya anak itu dikejutkan oleh seorang anak perempuan yang persis sepertinya. Anak perempuan itu memanggil anak dengan tatapan tajam tadi dengan panggilan “Lia” dan menyebut dirinya adalah “Fia”. Lia dan Fia adalah adik-adik Anna yang kembar.

Pertanyaanku tadi dijawab oleh Fia dan Lia bilang Anna telah meninggal karena bunuh diri di jembatan tempat dimana aku dan Anna bertemu sekitar seminggu yang lalu dan hari ini adalah perayaan setahun setelah kematiannya Anna. Aku pun merasa shock telah mendengar jawaban yang tidak ingin kudengar, dan aku langsung menerobos masuk ke rumah Anna dan melihat orang tua Anna dan beberapa orang di sana sedang memberikan bunga-bunga untuk sebuah peti mati yang diatasnya ada sebuah foto Anna yang sedang tersenyum.

Aku benar-benar tidak percaya apa yang kulihat, perempuan yang ingin kutemui, ingin mengerjakan komik bersama-sama, dan ingin menyatakan cintaku secara langsung, telah hilang untuk selama-lamanya. Aku hanya bisa menatap peti mati itu dengan tatapan kosong. Tak ada kata-kata yang bisa kuungkapkan lewat tatapannya itu. aku langsung menghampiri kedua orang tua Ana, beberapa hal yang membuatku bingung.

Mengapa kedua orangtuanya tidak menitikkan setetes air mata mereka? Dan mimik wajah mereka terlihat biasa-biasa saja? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku bertanya pada kedua orangtuanya Anna tentang penyebab kematiannya, tak ada satupun dari mereka yang membuka mulut. Aku meminta izin pada kedua orangtuanya Anna untuk masuk ke dalam kamar Ana. Mereka hanya mengangguk kecil seakan tidak terlalu mengizinkanku untuk masuk ke sana, dan aku tidak mempedulikan mereka dan langsung menuju kamar Anna.

Setelah aku tiba di kamar Anna, aku melihat banyak sekali boneka-boneka kecil dan hiasan-hiasan kamar yang terlihat menawan untuk kamar seorang perempuan. Aku berjalan menuju meja belajar dan melihat-lihat buku-buku dan dokumen lain milik Anna.

Tak ada satupun yang berhubungan dengan cerita komik yang mereka rencanakan saat itu. Aku mulai berpikir bahwa tidak mungkin Ana tidak menyusun cerita-cerita tersebut. Ataukah mungkin cerita itu disembunyikan? Pertanyaan itu terus melintas di kepalaku.

Sudah 20 menit berlalu aku tetap tidak menemukan bukti apapun tentang bunuh diri tersebut. Aku pun membaringkan diri di lantai kamar Anna. Beberapa lama kemudian aku mencium bau sesuatu seperti bau hangus. Aku keluar dari kamar Anna dan melirik ke dapur, tak ada masakan apapun dan tidak ada siapa-siapa. Ia pun balik lagi ke kamar Anan dan mencium bau yang sama. Aku yakin pasti bau itu ada di dalam kamar Ana. Aku terus mengobrak-abrik kamar Anna selama 1 jam, dan mulai stress karena tetapi tidak menemukan apapun.

Aku mulai mengangkat-angkat meja belajar Anna karena itu memang kebiasaanku di saat pikiranku sedang stres. Setelah mengangkat meja yang berukuran hampir 40 kg lebih itu, aku melihat secarik kertas di depannya yang jatuh entah darimana. Aku mengambil kertas tersebut dan melihatnya.

Tak ada tulisan apapun disana, hanya kertas polos. Aku lalu menggerakkan sedikit kertas tersebut dan melihat seperti ada sesuatu yang tertulis. Ia mengarahkan kertas tersebut ke lampu kamar Ana dan melihat kalimat di kertas tersebut bertuliskan dengan minyak

“Kalian jahat!!! Menghancurkan semua karya-karyaku selama ini!!! *beeep*, aku sudah muak dengan kalian!!!”

Kata-kata yang tersensor terlihat seperti sebuah goresan 5 garis yang berarti 5 jari tangan. Aku pun turun dari tangga dan melihat kobaran api yang cukup besar yang terlihat dekat jendela ruang tamu rumah Anna.

Aku langsung berlari ke sana dan melihat kedua orangtua Anna sedang berdiri di depan tong sampah yang ditambah kobaran api tersebut sambil memegang secarik kertas dan perlengkapan alat untuk menggambar. Spontan aku langsung mendorong kedua orangtua Anna ke samping dan lalu mengambil barang-barang yang tadi digenggam oleh mereka dan secepatnya aku lari dari rumah tersebut.


================================================

The Light in Darkness
© Team O

================================================

[Part 4]

Aku pun kembali ke rumahku dengan seperangkat alat menggambar yang kami beli sekitar seminggu lalu. Sepanjang perjalanan, aku tak habis-habisnya memikirkan apa yang baru dikatakan oleh orangtua Anna.


“Anak kami sudah meninggal setahun yang lalu. Jadi tak mungkin ia bisa berkeliaran di dunia ini.”

“Sebenarnya apa yang terjadi?!” pekikku sambil mengacak-acak rambut hitamku.

Beberapa detik kemudian aku merasa banyak pasang mata menatap ke arahku. Aku pun dengan hati-hati menggerakkan kedua bola mataku, melirik keadaan sekitarku. Dan benar...mereka menatapku dengan tatapan aneh.

Ya. Ya. Aku tahu. Aku tadi tiba-tiba berteriak padahal nggak ada guntur, nggak ada petir. Aku pun menggaruk kepalaku yang tak gatal dan berjalan seperti biasa sambil berusaha menutupi rasa maluku.

Sesampai di rumah, aku segera pergi ke kamarku dan merebahkan tubuhku di kasurku yang empuk dan sangat mudah membuatku terlelap. Tapi hari ini aku tidak terlelap seperti biasanya. Lagi-lagi aku memikirkan hal itu. Aku mendesah dan mencoba menghilangkan pikiran itu.

Selang beberapa saat, aku pun langsung beranjak dari tidurku. Aku terdiam sejenak. Otakku sedang me-loading apa yang sedang terjadi. Kemudian aku mendaratkan kepalaku lagi ke bantal, jadi posisiku sekarang ini seperti orang sujud dengan kedua tangan melipat ke depan seperti kangguru.

Lagi-lagi pikiran itu tak mau menjauh dari benakku. Aku mengangkat sedikit bantalku dan berharap hal itu menghilang dari pikiranku.

“Fharid,” panggil seseorang.

“Fharid,” panggil orang itu lagi.

Aku segera mendirikan tubuhku dan memeriksa telinga bahwa aku tak salah dengar. Tak lama kemudian aku mendengar seseorang memanggil namaku lagi, dengan cukup jelas. Aku sedikit merinding sebenarnya, tapi aku sekuat tenaga untuk menggerakkan kepalaku ke kiri mencari orang yang memanggil namaku.

Saat kepalaku sudah menoleh ke kiri, aku melihat sesosok yang sangat membuat jantungku serasa berhenti dan secara refleks aku segera berteriak dan menjauh dari sana hingga tanpa sadar aku terjatuh dari ranjangku dengan kepalaku terlebih dahulu mendarat ke lantai dengan mulus dan berhasil membuatku melihat banyak bintang mengelilingi kepalaku.

“Fharid, kamu nggak apa-apa?” tanya orang itu.

“Ya...sepertinya aku tak apa...,” ujarku lemah sambil menahan pusingnya kepalaku.

“Ayo, biar kubantu,” ujar orang itu.

Sebuah handuk basah kutempel-tempelkan ke keningku dan bagian kepalaku yang kejedot tadi. Aku melihat sekilas seorang gadis yang sedang duduk tak jauh dariku. Aku mengambil napas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan.

“Apa kau ini benar-benar... Anna? Anna yang kutemui di jembatan seminggu yang lalu?”

“Ya,” ucap gadis itu dengan senyuman khasnya yang sangat familiar bagiku.

“Jadi.... Apakah benar kau sudah....”

“Ya, itu benar.”

“Lalu, semua yang kualami itu...”

“Aku membuatnya nyata.”

“Jadi.... Jadi...selama ini aku...”

Berkencan dengan seorang roh? Are you kidding me? Tolong kembalikan masa mudaku!!!

“Tenang saja. Tidak ada yang menyadari kalau aku hidup atau sudah mati.”

“Apa maksudmu?”

“Aku memiliki kemampuan untuk menyamai auraku dengan aura manusia yang masih hidup.”

“Jadi aku waktu itu....”

Anna tersenyum. “Yup. Tidak ada yang menganggapmu gila kok.”

Aku mengelus dada, lega rasanya mendengar tak ada yang menganggapku gila waktu itu. Tapi tentu saaja aku tak bisa percaya begitu saja. Kan waktu itu aku begitu senang jadi aku tidak yakin tidak ada satupun yang menyadari keanehanku.

“Sudahlah. Tak usah kaupikirkan. Aku kesini mau mengatakan sesuatu.”

“Ya, silahkan. Aku akan mendengarkannya.”

“Pertama-tama aku minta maaf karena nggak memberitahumu yang sebenarnya.”

“Ya, tak apa.”

“Kedua, aku pengen kamu terus bikin komik. Menurutku, komikmu itu bagus.”

“Aku sudah berkali-kali mendengar hal itu, tapi apa hasinya? Karyaku ditolak dimana-mana dengan setumpuk alasan,” ujarku kesal.

Anna menundukkan kepalanya.

“Maaf...”

“Tak usah meminta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf. Seharusnya aku tidak membantah perintah ayahku.”

Anna diam menanti kelanjutanku berbicara.

“Ayahku ingin aku masuk jurusan akuntasi dan meneruskan usaha ayahku, tapi aku menolaknya. Aku lebih memilih ngomik daripada kuliah. Akhirnya aku dan ayahku bertengkar dan ibuku melerai perkelahian kami. Kemudian ibuku memberikan waktu setahun. Selama setahun aku kesana-kemari hingga akhirnya aku kehilangan semuanya. Impianku, pacarku, dan kehidupanku.”

“Oleh karena itu, kau frustasi dan ingin bunuh diri?”

“Ya. Menurutku itu usaha yang sangat tepat.”

Anna diam dan aku pun diam. Kamar ini hening beberapa saat hingga akhirnya ia angkat bicara.

“Kau mengingatkanku akan diriku setahun yang lalu.”

“Dirimu...setahun yang lalu?”

“Ya. Setahun yang lalu, aku juga mengalami frustasi yang sama denganmu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku meninggal di usiaku yang belum genap 17 tahun. Aku meninggal karena naskah novelku ditolak mentah-mentah. Aku bunuh diri ditempat yang sama kau ingin bunuh diri seminggu yang lalu.”

Aku menganga, tak tahu harus berucap apa.

“Sangat mengejutkan, bukan? Hehehe. Dulu itu aku masil labil, jadi kena sedikit masalah saja aku sudah frustasinya tingkat dewa.”

“....”

“Makanya, saat aku melihatmu ingin bunuh diri, aku segera mencegahmu. Aku tak mau kau sepertiku. Baru kena kerikil kecil sudah heboh.” Ana menoleh ke arahku. “Aku bisa melihat, bahwa kau masih punya kesempatan untuk meraih impianmu itu.”

“Benarkah?”

“Ya.”

Aku membuang muka ke kanan. Aku ingin tertawa rasanya. 

Kesempatan? Jangan bercanda! Sampah macam diriku ini tak mungkin punya kesempatan kedua!

“Aku tahu, kau menyesalinya. Tapi menyesali yang sudah terjadi takkan mengubah apapun.”

“Ya kau benar...,” ujarku lesu.

“Tenang saja.” Ia menepuk kepalaku dengan lembut. “Aku akan membantumu. Masalah story, aku bisa membantu. Kau berusahalah memperbaiki gambarmu.”

Aku menoleh, menatapnya. Ia tersenyum, seakan berusaha memberikanku semangat.

“Sungguh?”

“Ya, tentu saja. Aku akan membantumu hingga kau berhasil menjadi seorang komikus yang tersohor!” ucapnya penuh semangat.

“Baiklah, aku akan mencobanya lagi. ”

Anna tersenyum senang.

“Tapi ada syaratnya?”

“Apa itu?”

“Kau harus membantuku lulus masuk kuliah jurusan akuntasi tahun ini.”

“Oke.”

“S-sungguh?” tanyaku memastikan keputusannya.

“Hm.”

Aku menatap wajahnya lekat-lekat, berusaha memastikan diriku bahwa dia tak berbohong padaku. Aku kemudian menganggukkan kepalaku berulang kali.

Tak terasa sudah hampir seminggu aku belajar dengannya. Dengan penuh kesabaran ia mengajariku. Seandainya dia bukan roh, mungkin suatu hari aku akan menikahinya. Ah, tapi sayang. Hal itu tak mungkin terwujud.

Hari ini aku sedang sibuk corat-coret membuat sketsa untuk komik perdanaku. Anna memperhatikan pekerjaanku dengan seksama. Terkadang aku merasa selembar tisu melintas di keningku dan kalian tentu tahu bahwa dia lah yang melakukannya. Maklumlah kipas anginku sedang rusak dan aku belum sempat memperbaikinya.

Setelah berkutat kurang lebih 6 jam, akhirnya cuplikan naskah komikku jadi juga. Aku pun menyeka keringatku tapi tangan Anna lebih cepat dariku. Hehehe...

“Jadi, kamu udah siap?”

Aku memegang dadaku. “Bagaimana ya? Detak jantungku berdegup keras dan aku bisa merasakannya dengan jelas.”

“Ayo di kirim. Nanti kelupaan lho.”

“Hm.”

Setelah menunggu selama ± 3 bulan, akhirnya ada telpon dari penerbit. Sebuah senyuman terlukis di wajahku. Aku berteriak kegirangan dan tak memperdulikan orang-orang memandang aneh kepadaku. Aku terus tersenyum sendiri hingga aku sampai di rumah.

“Anna, aku punya kabar bagus untukmu.”

Hening.

“Ayo keluarlah, jangan bermain petak umpet begitu.”

Hening lagi.

“Kemana sih dia?”

Aku mengobrak-abrik kamarku mencari tanda-tanda kehadiran. Tapi sayang, aku hanya menemukan secarik kertas.

~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~  
To: Fharid

Terima kasih buat semuanya. Aku senang bertemu denganmu dan bersamamu dalam waktu yang cukup lama. Terima kasih telah menerimaku walaupun aku seperti ini. Terima kasih. Terima kasih. Semoga kita bisa bertemu di lain waktu. 
I love you.


Tertanda
Anna

~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~oOo~o~o~
Tak terasa air mataku mengucur deras dan tak tertahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya dan terus mengucapkan kata “I love you”.


================================================

The Light in Darkness
© Team O

================================================

[Part 5]





“Ini bunga yang Anda pesan tadi,” ucap seorang wanita yang bekerja di toko bunga yang kudatangi hari ini.

“Oh. Terima kasih. Ini uangnya,” ucapku sembari memberikan selembar uang kertas seratus ribu rupiah.

“Saya yakin. Pasti yang mendapatkan bunga ini adalah seseornag yang sangat spesial,” ucap wanita itu sambil memberikan kembaliannya kepadaku.

Aku tersenyum. “Ya. Anda benar.”

“Betapa beruntungnya gadis itu.”

Aku tersenyum kembali.

Aku meninggalkan toko itu. Aku segera pergi ke sebuah tempat janjian aku dan dia bertemu. Dengan mengendarai mobil hitamku, aku terus tersenyum dan mengkhayalkan betapa indahnya dia hari ini.

Setelah menempuh perjalan sekitar 15 menit, aku pun keluar dari mobilku. Aku berjalan sedikit ke sebuah area yang sangat luas dan penuh pepohonan serta bunga. Aku menarik sedikit pagar besi yang sedikit terbuka. Aku bertegur sapa dengan penjaga tempat itu. Ah, ini sungguh tempat yang nyaman, bukan begitu Anna?

Aku berjalan sedikit melewati beberapa batu berbentuk kotak dengan ukiran-ukiran nama yang indah. Kemudian aku berhenti sejenak. Senyumanku terkembang lagi. Aku segera menuju tempat itu.

“Heh...tak terasa sudah 4 tahun ya?” ujarku sambil mengepulkan asap rokokku. “Bagaimana kabarmu hari ini? Kabarku hari ini bagus. Lebih bagus dari sebelumnya. Kau tahu...”

Aku mendongakkan kepalaku, menatap langit biru yang sangat indah.

“Hari ini komikku yang ke-7 laku keras. Aku tak menyangka akan seperti ini. Sungguh, ini sebuah kejadian yang tak terduga.”

Aku mulai menitikkan air mata.

“Hahaha. Jangan memandangku begitu.”-aku menyeka air mataku-“Aku tak menangis. Aku hanya sedang sangat senang saja hari ini.”

Aku berusaha tersenyum.

“Terima kasih atas bantuanmu, Ana. Karenamu lah aku hingga hari ini masih bisa melihat senyumanmu. Terima kasih. Terima kasih banyak.”

Air mataku jatuh lagi.

“Oh ya, aku punya hadiah untukmu.” Aku mengeluarkan sebuket bunga warna-warni yang sangat cantik dan masih segar.

“Bagaimana? Bagus bukan? Ini cantik seperti dirimu tapi tentu saja kecantikannya tak sebanding denganmu. Aku letakkan di sini ya?” ujarku sambil meletakkan buket bunga itu di atas benda kotak berwarna keabu-abuan itu. “Oh ya, ini aku bawakan makanan kesukaanmu juga.”

Aku menatap benda itu sejenak. Air mataku menetes lagi. Kali ini aku membiarkannya berjatuhan. Aku sesunggukkan dalam diam di sana. Setelah tenang, aku pun beranjak dari sana.

“Aku bakal datang lagi. Ntar aku bawakan makanan kesukaanmu lebih banyak dari hari ini. Jaga kesehatanmu ya?”

Aku berjalan lurus tanpa melihat ke belakang. Aku tahu, dia ada di sana. Tapi aku tak berani melihat wajahnya. Kenapa? Karena itu akan membuat air mataku mengalir lagi.

“Maafkan aku, Anna.”



==SELESAI==



Terima kasih telah membaca cerpen kami *bow*
Kami minta maaf bila ada kesalahan dalam cerita ini *bow*
Sampai jumpa dikarya kolaborasi kami yang lainnya (Insha'Allah) ^_^

================================================

This story actually is a Light Novel Oneshoot version and we will remake this, because all the part have much a mistakes and then we will post this LN in English version ^_^. Just wait ne~ ^_^
================================================

3 komentar: