Judul : THE SIX SYMBOL
Pengarang : Eni Hariani
Genre : Action, Fantasy, Supernatural, Sci-fi
Rate : Remaja
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
=================================================================
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
BAB 1
PERTEMUAN
“Aahhh.
Akhirnya sampai juga,” kata Eliana senang sambil meluruskan tulang punggungnya.
Perjalanan selama kurang lebih lima jam cukup membuat tulang punggungnya
pegal-pegal karena kurang istirahat di karenakan penumpang yang duduk di sebelah Eliana
sangat berisik sehingga Eliana tak bisa istirahat dengan tenang.
Eliana
kemudian segera meninggalkan airport dan mencari taksi. Sebuah taksi
menghampiri Eliana dan menawarkan tumpangan. Eliana memasuki taksi itu dan
menyebutkan tujuannya. Eliana bersandar di kursi penumpang. Walaupun hari sudah
mulai siang, namun karena tadi habis hujan membuat Eliana mengantuk. Eliana pun
tertidur di kursi belakang. Pak sopir tersenyum melihat penumpangnya tertidur
pulas melalui cermin yang terletak di depan pak sopir.
Eliana
terbangun dari tidurnya dan melihat taksi yang ditumpanginya berhenti.
Dilihatnya sopir yang mengantar tak ada di dalam taksi. Eliana pun membuka kaca
mobil dan melihat pak sopir sedang mengganti ban mobilnya. Daripada begong,
Eliana pun mengajak pak sopir ngobrol ngalur-ngidul.
Di
tengah keasyikan mereka, datanglah beberapa orang dengan gaya punk, yang
menurut Eliana itu norak banget. Noraknya itu karena tampang sama dandanan
mereka itu nggak sesuai sama sekali. Bayangin aja, tampang udah pas-pasan dandanan
ala punk gitu. Aneh nggak kira-kira menurut kalian? Menurut Eliana (dan penulis
juga) aneh sih.
Anak-anak
punk itu mendekati pak sopir. Pak sopir lalu meminta Eliana untuk menutup kaca
mobilnya dan diam di dalam mobil. Eliana menuruti perkataan pak sopir.
Anak-anak punk yang menurut mereka keren, hebat, itu mulai memeras pak sopir.
Pak sopir berkali-kali mengilah agar anak-anak punk itu segera pergi. Eliana
muak melihat anak-anak itu sok hebat begitu. Eliana lalu keluar dari mobil. Pak
sopir berteriak agar Eliana kembali masuk ke dalam mobil.
“Maaf,
paman. Aku nggak bisa tinggal diam aja dalam mobil kayak anak bersembunyi di
bawak ketek ibunya,” kata Eliana.
“Tapi
Neng, saya nggak mau Neng dapat masalah.”
“Kayaknya
anak-anak ini perlu dikasih pelajaran. Toh, walaupun paamn bisa membuat mereka
mundur, pastinya mereka bakal datang lagi dengan pasukan yang lebih banyak dan
urusannya bisa puannnjang banget. Dan menurut aku sih, orang keren, hebat, itu
nggak perlu main keroyokan. Cukup, satu lawan satu! Kalo main keroyokan, sama
aja pengecut!” kata Eliana setengah mencibir anak-anak punk itu.
“Heh,
mulut loe tajam juga. Tapi kira-kira tajaman pisau gue atau mulut loe?” kata
seorang laki-laki dengan rambut yang dibentuk kayak sisik buah durian sambil memainkan pisau kecil di tangan kanannya.
“Hari
gini? Masih berlagak preman? Hallooo?
Sekarang jaman udah modern and canggih
bro, otot bukanlah penentu kalau
kalian adalah yang terkuat ataupun yang terhebat.”
“Arghhh.
Banyak bacot loe!”
Laki-laki
dengan style mohawk itu mengayunkan pisau kecilnya ke arah Eliana.
Dengan sigap Eliana menghindarkan ke kiri lalu memegang tangan kanan si
laki-laki sok keren itu. Eliana menggerakkan kaki kanannya untuk mengait kaki
laki-laki itu hingga tersungkur. Laki-laki itu bangkit dan menyerang Eliana
lagi. Eliana menghindar ke kiri
laki-laki itu dan dengan gerakan cepat Eliana sudah di belakang laki-laki itu.
Eliana pun menarik ke belakang tangan laki-laki yang sedang memegang pisau tadi,
kemudian Eliana memilin tangan laki-laki itu ke belakang dan lepaslah pisau
tadi. Eliana mendorong laki-laki itu cukup keras ke depan hingga laki-laki itu
hampir tersungkur.
“Hebat
juga loe ternyata.”
Eliana
mengacuhkan pujian laki-laki itu dan memungut pisau yang jatuh tadi. Eliana
melipat pisau itu dan dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
“Aku
sebenarnya tak mau cari masalah. Tapi kalau kalian memang kebelet pengen
bertarung, akan kulayani,” ujar Eliana dengan sikap siap, berdiri tegap dengan
tangan kiri diletakkan di belakang dan tangan kanan yang ditekuk ke depan
seakan memberi isyarat “ayo maju”.
Gerombolan
itu terdiam sejenak, saling berpandangan dan saling memberi sinyal. Mereka pun
menyerang Eliana secara barengan. Pak sopir yang sedari tadi diam di tempat mulai
berdoa semoga ada yang mampu melerai perkelahian mereka.
Anak-anak
punk itu melancarkan semua serangan yang mereka punya dan Eliana dengan tenang
menangkis serangan itu. Pak sopir melirik sejenak ke perkelahian itu. Pak sopir
tertegun. Ia merasa gerakan Eliana itu berbeda dengan gerakan seni bela diri
yang ada di bumi ini.
“Apa
jangan-jangan...dia mengkombinasikan semua gerakan bela diri? Ah, itu tidak
mungkin. Seni bela diri tak bisa digabung-gabungkan.”
Satu
per satu Eliana menjatuhkan lawannya tanpa membuat mereka terkena luka berat,
hanya lebam di sekujur tubuh mereka saja.
“Aku
rasa ini sudah cukup. Aku tak mau membuat kalian terluka,” ucap Eliana.
“Selain
itu...aku tak mau mengundang keramaian lebih dari ini,” sambung Eliana sambil
melirik sekeliling mereka yang kini penuh dengan orang-orang yang menonton
pertarungan mereka.
“Sial.
Kenapa jadi begini akhirnya?” kata Eliana dalam hati.
Pak
sopir segera menarik lengan Eliana dan menggiringnya masuk ke dalam taksi. Pak
sopir pun segera tancap gas meninggalkan tempat kejadian.
“Maaf,
Neng. Saya merepotkan Neng.”
“Ah,
nggak kok,” ucap Eliana sembari membenarkan ikat rambutnya.
Belum
beberapa meter, taksi yang ditumpangi oleh Eliana mogok. Pak sopir segera
memeriksa semua band mobil, bagian bawah mobil kalau-kalau ada yang bocor, dan
tak lupa juga dia memeriksa bagian mesin.
Pak
sopir kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang, setelah itu ia
masuk ke dalam taksi lagi.
“Saya
sudah menelpon taksi lain.”
“Memangnya
kenapa saya harus ganti taksi?”
“Ada
gangguan di mesinnya dan saya nggak mau Neng menunggu terlalu lama di sini.”
“Nggak
apa-apa. Saya nggak terburu-buru kok.”
“Nggak
Neng. Ini sudah hampir jam 1 siang Neng. Jam segini biasanya mulai padat
apalagi di jalan layang itu,” kata pak sopir sambil menunjuk jalan layang yang
mungkin jaraknya sekitar 1 km dari tempat taksi tumpangan Eliana mogok.
Eliana
menatap jalan layang itu dan berpikir sebentar. “Baiklah. Saya mau berganti
taksi.”
Pak
sopir itu tersenyum senang. “Syukurlah kalau Neng mau mengerti. Teman saya akan
segera sampai ke mari.”
Dan
benar! Taksi berwarna biru cerah datang menghampiri taksi yang ditumpangi
Eliana. Pak sopir keluar dari taksi kemdian bersalaman dan berbincang-bincang
sejenak. Pak sopir lalu meminta Eliana keluar dari taksinya dan masuk ke dalam
taksi temannya. Pak sopir dan temannya bersalaman lagi dan temannya itu
kemudian masuk ke dalam taksi.
“Ke
Ashou Sharon ya, Mbak?” kata sang sopir taksi pengganti sambil membenarkan
letak kaca kecil yang menggantung di langit-langit taksi.
“Ya,”
kata Eliana sambil memasang earphone-nya.
Sopir
itu menyalakan mesin taksinya dan memasukkan gear satu lalu bergegas menuju
tujuan Eliana, SMU Ashou Sharon. Eliana menyandarkan badannya ke sandaran kursi
sambil menikmati pemandangan indah kota Titanium dengan lantunan lagu di earphonenya.
Setelah Eliana pergi dengan taksi
baru, laki-laki yang menjadi sopir taksi Eliana yang pertama, masih berdiri
disamping taksinya. Ia mengambil sebatang rokok lalu dibakarnya dan
dinikmatinya sensasi nikotin dalam rokok itu. Laki-laki itu kemudian
menghembuskan asap yang menandakan ia sangat menikmatinya. Laki-laki itu
mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan menelpon seseorang.
“Halo. Bisa bicara dengan tuan
Netron,” kata laki-laki itu sambil mengacak-acak rambut hitamnya. “Hm? Sedang
rapat? Baiklah. Beritahukan, bahwa anak itu sudah ditemukan.”
Laki-laki itu memutus
perbincangannya. Ponselnya kembali dimasukkannya ke dalam kantong celananya. Ia
kemudian melepas kulit sintesis yang ia gunakan untuk menyamar tadi.
“Lain kali aku akan menggunakan masque
de la personnalité[[1]].”
Laki-laki itu masuk mobil dan
melempar kulit sintesis itu ke kursi sampingnya. Tangan kanannya menekan tombol
rahasia yang disembunyikannya di balik handuk kecil dan jadilah mobil itu
berubah bentuk, warna, dan plat nomornya, menjadi sebuah mobil hitam
keungu-unguan dengan fitur canggih didalamnya.
“Ini lebih bagus,” puji laki-laki
itu. “Saatnya kita berpesta, baby.”
================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
Eliana
keluar dari taksi dan membayar biaya taksinya. Eliana kemudian menggiring
kopernya memasuki sebuah gedung yang sangat luas, megah, dan menjulang tinggi.
Eliana menempelkan layar Iphone-nya ke alat pendeteksi gedung itu agar datanya
masuk ke sekolah itu. Sinar hijau muncul di mesin pendeteksi itu, Eliana pun
memasukkan Iphone-nya ke dalam kantong jaketnya lalu menggiring kopernya
melewati gerbang pendeteksi yang ada di koridor depan.
Eliana
berjalan ke arah timur dan menemukan sebuah lift. Eliana menekan tombol bulat
yang ada di samping kanan lift. Pintu lift pun terbuka, Eliana memasuki lift
itu dan tiba-tiba ada seorang gadis tidak sengaja menabrak Eliana.
“Ah,
maaf. Aku tidak bermaksud untuk menabrakmu,” kata gadis berambut ungu sepanjang
pinggul yang di kuncir dua.
“Tidak
apa-apa,” kata Eliana sambil tersenyum. Eliana lalu menekan tombol bertuliskan dorm.
Beberapa
saat kemudian pintu lift terbuka. Gadis berambut ungu itu keluar lebih dulu.
“EH?!
Apa ini? Kok hall lagi?” kata gadis itu celingak-celinguk.
“Jangan
khawatir, kita ditempat yang benar kok,” kata Eliana sambil berjalan menggiring
kopernya menuju kamar asramanya.
“Tapi,
kenapa kita ada di hall?” kata gadis itu bingung.
Eliana
berhenti sejenak. “Sepertinya kau tidak membaca fasilitas yang ada di sekolah
ini sampai tuntas,” kata Eliana sambil berbalik ke belakang.
“Aku
membacanya!” sungutnya.
“Benarkah?” kata Eliana seraya melipat kedua
tangannya dan menaikkan salah satu alisnya.
“Itu
benar!” sahut gadis itu sambil berekspresi cemberut.
“Kalau
kau benar membacanya, pasti sudah tahu kalau sekolah ini memiliki gedung asrama
sendiri dan memiliki lift yang bisa bergerak ke segala arah.”
“Ada
ya yang seperti itu?” kata gadis itu berbicara sendiri.
Eliana
menghela napas. “Makanya, baca informasi itu habis-habis biar jelas duduk permasalahannya,”
kata Eliana sambil berjalan meninggalkan gadis itu.
“Welcome to Ashou Sharon dorm. May I scan your
identity, please?” kata seorang wanita muda penjaga asrama putri. Eliana
mengeluarkan Iphone-nya dari kantong jaketnya dan diletakkannya di atas meja. “Thank you,” ujar wanita muda itu lagi.
Wanita
muda itu memindai data Eliana ke dalam komputer. Dalam hitungan detik
pemindaian pun selesai dan Eliana mendapatkan nomor serta kode kamar asramanya.
Eliana
berterima kasih lalu berjalan menuju lift. Eliana menekan tombol segitiga ke
atas. Eliana menekan angka 3 yang menunjukkan lantai di mana kamarnya berada.
***
Eliana
menempelkan layar Iphone-nya untuk bisa membuka kunci kamar asramanya. Eliana
menggiring koper besarnya masuk ke dalam kamar. Eliana meletakkan tas ranselnya
di atas ranjang yang ada di sisi kiri kamar. Eliana duduk di atas kasur sambil
melihat-lihat betapa besarnya dan lengkapnya kamar ini.
“Serasa
hidup di kamar sendiri. Semuanya serba ada. Tempat tidur, meja belajar, laptop,
lemari baju, lemari buku, dan semuanya berjumlah dua, kecuali kamar mandinya
yang cuma ada satu. Hm...sepertinya aku akan dapat teman satu kamar. Kira-kira
siapa ya?”
Eliana
bangkit dari duduknya dan mulai merapikan semua barang bawaannya. Di tengah
sedang beres-beres, pintu kamar terbuka. Eliana segera menghentikan
kegiatannya. Muncullah seseorang berambut kuning sepundak, berkulit putih, dan
membawa dua koper dengan dua warna dan ukuran yang berbeda. Eliana membetulkan
letak kacamata minus bergagang hitam miliknya.
“Halo.
Perkenalkan namaku Emy Watson. Aku murid baru tahun pertama dari kota
Citrilofia. Mohon bimbingannya,” ujar perempuan itu dengan sedikit membungkuk.
Eliana
tidak menjawab salam dari Emy. Emy merasa bingung kenapa tidak ada jawaban
salam darinya. Emy kemudian mengangkat wajahnya dan Emy langsung loncat karena
terkejut melihat wajah Eliana begitu dengan wajahnya.
“E-Eliana,
apa-apaan kau ini?!” kata Emy kaget.
“Eh?!
Kau masih bisa mengenaliku? Padahal kita udah 3 tahun nggak ketemu.”
“Tentu
saja mengenalimu. Kau itu kan murid paling ‘aneh’ di sekolah,” kata Emy kesal.
“Hey!
Apa maksudmu?”
“Hmph!”
kata Emy sambil berlalu ke tempat tidurnya sambil bersungut-ria.
“Ah, kau sedang bersih-bersih ternyata,”
kata Emy sambil melepas jaketnya.
“Ya.”
“Hmmm. Kau lanjutkan saja
bersih-bersihnya. Aku mau mandi,” kata Emy sambil berlenggang ke kamar mandi.
“Eh? Enak sekali dia menyuruhku
bersih-bersih. Bukankah ini kamar milik kita berdua? Kenapa hanya aku yang
harus repot-repot membersihkan kamar ini? Dasar kau Emy!!! Aku tidak akan
memaafkanmu!!!” teriak Eliana dalam hati.
Emy
keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Ia melihat Eliana tertidur
pulas dengan tubuh setengah menjuntai ke lantai. Emya hanya bisa geleng-geleng
kepala.
“Ia
masih ‘aneh’ seperti dulu,” kata Emy sambil berlalu ingin mengganti baju.
Eliana
membuka kedua matanya dan bangun dari tidurnya.
“Ah,
kau sudah bangun,” kata Emy dari ranjang sebelah sambil membaca novel
kesukaannya dengan banyak sekali gulungan-gulungan di kepala Emy. Sepertinya ia
berniat untuk mengeriting rambutnya.
“Hm?”
respon Eliana yang masih mengumpulkan nyawanya. “Oh, kau.” Eliana lalu tidur
lagi. Emy pun melempar Eliana dengan buku novelnya.
“Woy!
Kenapa sih kamu itu sukanya melempar buku ke arahku? Apa salahku?!” protes
Eliana.
“Salahmu?
Salahmu karena mengabaikanku,” kata Emy dengan memberikan tekanan lebih pada
kata ‘mengabaikanku’.
“Aku
tidak mengabaikanmu. Aku hanya ingin beristirahat. Membersihkan kamar sebesar
ini sendirian membuatku capek tahu!”
“Alasan!”
“Terserah!”
Eliana kembali berbaring di kasurnya.
“Nah,
Emy?”
“....”
“Eeemyyy,”
kata Eliana.
“Ya?”
respon Emy di balik buku bacaannya.
“Kau
akan masuk kelas apa nanti?”
“Aku
akan masuk kelas medis.”
“Medis?”
Eliana langsung bangkit, duduk bersila.
“Yup.”
“Apa
menariknya masuk kelas medis?” kata Eliana.
Emy
menutup buku bacaannya. “Aku sejak dulu ingin menjadi seorang dokter. Dan aku
berpikir, kalau aku masuk kelas medis, aku bisa mengenal dunia kesehatan
sedikit demi sedikit,” kata Emy sambil menghayal betapa banggaanya menjadi
seorang dokter.
“By the way,”−Emy melepas
kacamatanya−“kamu mau ngambil kelas apa?” tanya Emy yang sudah kembali dari
dunia khayalannya.
“Aku
ingin ngambil kelas prajurit.”
“Kelas
prajurit?”-Emy
memiringkan kepalanya sedikit-“Bukankah itu...”
“Yup.”
“Untuk
apa kau mengambil kelas itu?”
“Aku
ingin mencari kakekku.”
“Bukankah
kakekmu...sudah....”
Eliana
bangkit dari tempat tidurnya. “Ya, memang kakekku sudah meninggal.”-Eliana
berjalan ke arah jendela kamar-“Tapi kami tak menemukan jasadnya.”
Eliana menyingkap sedikit gordennya.
“Mungkin
saja jasadnya hangus terbakar,” kata Emy menduga-duga.
“Kalau
kakekku mati dan jasadnya dibakar hingga hangus, seharusnya ada...” Eliana
tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ini
tidak mungkin,” kata Eliana pada dirinya sendiri.
“Eliana?
Ada apa?” Emy menatap Eliana penuh tanya.
“Manusia
ataupun hewan, kalau dibakar hingga hangus seharusnya masih ada jasadnya.
Walaupun itu sudah tak jelas bentuknya. Tapi...kalau pun disembunyikan...aku
rasa tidak.” kata Eliana berbicara sendiri.
Eliana
jalan ke sana-ke mari sambil berpikir layaknya detektif. Eliana kemudian
terdiam. Emy yang juga penasaran, menyiapkan telinganya untuk mendengarkan
penjelasan dari Eliana.
“Sepertinya...dugaanku
benar. Kakekku masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat.”
“Kau
yakin?”
“Ya!”
kata Eliana sambil menoleh ke arah Emy.
“Atas
dasar apa?” Emy memiringkan kepalanya ke kiri.
“Seperti
yang kukatakan. Kalau kakekku mati di medan perang bersama prajurit yang lain
dan mayat-mayatnya di bakar untuk menghilangkan jejak, pasti masih ada
jasadnya. Terkecuali, kakekku melawan musuhnya satu lawan satu, dan kakekku
kalah. Aku pikir, akan ada beberapa kemungkinan. Satu, kakekku dibunuh lalu di
bakar hingga hangus dan jasadnya dilarutkan ke sungai. Dua, kakekku dicelakai
tapi tidak sampai membunuhnya dan disembunyikan di suatu tempat. Dan
kemungkinan ketiga, kakekku masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat.”
“Hebaaaaat.
Dia bisa berpikir hingga sejauh itu,” kagum Emy dalam hati.
“Em...kalau
dipikir-pikir lagi, kalau musuh melakukan kemungkinan kedua atau kemungkinan
ketiga, berarti...kakekku....”
“Kakekmu...apa?”
kata Emy semakin penasaran.
“Ah,
itu...maaf, aku belum menemukan jawabannya,” kata Eliana diakhiri dengan tawa
singkat.
Eliana
dan Emy saling diam-diaman sejenak.
“Ini
sudah malam. Sebaiknya kita tidur. Besok kita akan ada upacara penyambutan
murid baru,” kata Emy sambil meletakkan novelnya dan kacamatanya di atas meja
kecil yang ada di sebelah ranjangnya dan mematikan lampu tidurnya. “Oh ya,
jangan lupa tutup kembali gorden yang kau buka itu dan selamat tidur, Eliana.”
“Ah,
iya. Selamat tidur, Emy,” balas Eliana pelan. Ia kemudian menutup kembali
gorden kamar mereka dan segera pergi tidur.
=================================================================
=================================================================The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
maaf nih sebelumnya cuman mau tanya pada bab 1 ada terdapat kata "ujar eliana" bukankah lebih bagus kalau diganti dengan "kata eliana" atau emang disengaja ?
BalasHapusbtw aku juga orang kalsel ,salam orang banua :D
Halo, cerita ini menarik dan dikemas sangat ringan, saya langsung menyukainya. kepada author mohon maaf sebelumnya saya mau minta izin. saya sedang belajar bahasa mandarin kurang lebih udah 4 bulan, saya belajar untuk bekal study ke taiwan inshaallah tahun depan, sekiranya boleh tidak ya saya mentranslate cerita ini kebahasa mandarin untuk pengembangan diri saya? saya hanya akan menulisnya di buku saya dan tidak akan pernah di komersialkan. thanks in advace author.
BalasHapus