Minggu, 08 Juni 2014

The Six Symbol: Bab 1 - Pertemuan

Judul        : THE SIX SYMBOL
Pengarang : Eni Hariani
Genre       : Action, Fantasy, Supernatural, Sci-fi
Rate         : Remaja
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
=================================================================



BAB 1

PERTEMUAN



 
 “Aahhh. Akhirnya sampai juga,” kata Eliana senang sambil meluruskan tulang punggungnya. Perjalanan selama kurang lebih lima jam cukup membuat tulang punggungnya pegal-pegal karena kurang istirahat di karenakan penumpang yang duduk di sebelah Eliana sangat berisik sehingga Eliana tak bisa istirahat dengan tenang.
Eliana kemudian segera meninggalkan airport dan mencari taksi. Sebuah taksi menghampiri Eliana dan menawarkan tumpangan. Eliana memasuki taksi itu dan menyebutkan tujuannya. Eliana bersandar di kursi penumpang. Walaupun hari sudah mulai siang, namun karena tadi habis hujan membuat Eliana mengantuk. Eliana pun tertidur di kursi belakang. Pak sopir tersenyum melihat penumpangnya tertidur pulas melalui cermin yang terletak di depan pak sopir.
Eliana terbangun dari tidurnya dan melihat taksi yang ditumpanginya berhenti. Dilihatnya sopir yang mengantar tak ada di dalam taksi. Eliana pun membuka kaca mobil dan melihat pak sopir sedang mengganti ban mobilnya. Daripada begong, Eliana pun mengajak pak sopir ngobrol ngalur-ngidul.
Di tengah keasyikan mereka, datanglah beberapa orang dengan gaya punk, yang menurut Eliana itu norak banget. Noraknya itu karena tampang sama dandanan mereka itu nggak sesuai sama sekali. Bayangin aja, tampang udah pas-pasan dandanan ala punk gitu. Aneh nggak kira-kira menurut kalian? Menurut Eliana (dan penulis juga) aneh sih.
Anak-anak punk itu mendekati pak sopir. Pak sopir lalu meminta Eliana untuk menutup kaca mobilnya dan diam di dalam mobil. Eliana menuruti perkataan pak sopir. Anak-anak punk yang menurut mereka keren, hebat, itu mulai memeras pak sopir. Pak sopir berkali-kali mengilah agar anak-anak punk itu segera pergi. Eliana muak melihat anak-anak itu sok hebat begitu. Eliana lalu keluar dari mobil. Pak sopir berteriak agar Eliana kembali masuk ke dalam mobil.
“Maaf, paman. Aku nggak bisa tinggal diam aja dalam mobil kayak anak bersembunyi di bawak ketek ibunya,” kata Eliana.
“Tapi Neng, saya nggak mau Neng dapat masalah.”
“Kayaknya anak-anak ini perlu dikasih pelajaran. Toh, walaupun paamn bisa membuat mereka mundur, pastinya mereka bakal datang lagi dengan pasukan yang lebih banyak dan urusannya bisa puannnjang banget. Dan menurut aku sih, orang keren, hebat, itu nggak perlu main keroyokan. Cukup, satu lawan satu! Kalo main keroyokan, sama aja pengecut!” kata Eliana setengah mencibir anak-anak punk itu.
“Heh, mulut loe tajam juga. Tapi kira-kira tajaman pisau gue atau mulut loe?” kata seorang laki-laki dengan rambut yang dibentuk kayak sisik buah durian sambil memainkan pisau kecil di tangan kanannya.
“Hari gini? Masih berlagak preman? Hallooo? Sekarang jaman udah modern and canggih bro, otot bukanlah penentu kalau kalian adalah yang terkuat ataupun yang terhebat.”
“Arghhh. Banyak bacot loe!”
Laki-laki dengan style mohawk  itu mengayunkan pisau kecilnya ke arah Eliana. Dengan sigap Eliana menghindarkan ke kiri lalu memegang tangan kanan si laki-laki sok keren itu. Eliana menggerakkan kaki kanannya untuk mengait kaki laki-laki itu hingga tersungkur. Laki-laki itu bangkit dan menyerang Eliana lagi. Eliana menghindar ke  kiri laki-laki itu dan dengan gerakan cepat Eliana sudah di belakang laki-laki itu. Eliana pun menarik ke belakang tangan laki-laki yang sedang memegang pisau tadi, kemudian Eliana memilin tangan laki-laki itu ke belakang dan lepaslah pisau tadi. Eliana mendorong laki-laki itu cukup keras ke depan hingga laki-laki itu hampir tersungkur.
“Hebat juga loe ternyata.”
Eliana mengacuhkan pujian laki-laki itu dan memungut pisau yang jatuh tadi. Eliana melipat pisau itu dan dimasukkannya ke dalam saku bajunya.
“Aku sebenarnya tak mau cari masalah. Tapi kalau kalian memang kebelet pengen bertarung, akan kulayani,” ujar Eliana dengan sikap siap, berdiri tegap dengan tangan kiri diletakkan di belakang dan tangan kanan yang ditekuk ke depan seakan memberi isyarat “ayo maju”.
Gerombolan itu terdiam sejenak, saling berpandangan dan saling memberi sinyal. Mereka pun menyerang Eliana secara barengan. Pak sopir yang sedari tadi diam di tempat mulai berdoa semoga ada yang mampu melerai perkelahian mereka.
Anak-anak punk itu melancarkan semua serangan yang mereka punya dan Eliana dengan tenang menangkis serangan itu. Pak sopir melirik sejenak ke perkelahian itu. Pak sopir tertegun. Ia merasa gerakan Eliana itu berbeda dengan gerakan seni bela diri yang ada di bumi ini.
“Apa jangan-jangan...dia mengkombinasikan semua gerakan bela diri? Ah, itu tidak mungkin. Seni bela diri tak bisa digabung-gabungkan.”
Satu per satu Eliana menjatuhkan lawannya tanpa membuat mereka terkena luka berat, hanya lebam di sekujur tubuh mereka saja.
“Aku rasa ini sudah cukup. Aku tak mau membuat kalian terluka,” ucap Eliana.
“Selain itu...aku tak mau mengundang keramaian lebih dari ini,” sambung Eliana sambil melirik sekeliling mereka yang kini penuh dengan orang-orang yang menonton pertarungan mereka.
“Sial. Kenapa jadi begini akhirnya?” kata Eliana dalam hati.
Pak sopir segera menarik lengan Eliana dan menggiringnya masuk ke dalam taksi. Pak sopir pun segera tancap gas meninggalkan tempat kejadian.
“Maaf, Neng. Saya merepotkan Neng.”
“Ah, nggak kok,” ucap Eliana sembari membenarkan ikat rambutnya.
Belum beberapa meter, taksi yang ditumpangi oleh Eliana mogok. Pak sopir segera memeriksa semua band mobil, bagian bawah mobil kalau-kalau ada yang bocor, dan tak lupa juga dia memeriksa bagian mesin.
Pak sopir kemudian mengeluarkan ponselnya dan menelpon seseorang, setelah itu ia masuk ke dalam taksi lagi.
“Saya sudah menelpon taksi lain.”
“Memangnya kenapa saya harus ganti taksi?”
“Ada gangguan di mesinnya dan saya nggak mau Neng menunggu terlalu lama di sini.”
“Nggak apa-apa. Saya nggak terburu-buru kok.”
“Nggak Neng. Ini sudah hampir jam 1 siang Neng. Jam segini biasanya mulai padat apalagi di jalan layang itu,” kata pak sopir sambil menunjuk jalan layang yang mungkin jaraknya sekitar 1 km dari tempat taksi tumpangan Eliana mogok.
Eliana menatap jalan layang itu dan berpikir sebentar. “Baiklah. Saya mau berganti taksi.”
Pak sopir itu tersenyum senang. “Syukurlah kalau Neng mau mengerti. Teman saya akan segera sampai ke mari.”
Dan benar! Taksi berwarna biru cerah datang menghampiri taksi yang ditumpangi Eliana. Pak sopir keluar dari taksi kemdian bersalaman dan berbincang-bincang sejenak. Pak sopir lalu meminta Eliana keluar dari taksinya dan masuk ke dalam taksi temannya. Pak sopir dan temannya bersalaman lagi dan temannya itu kemudian masuk ke dalam taksi.
“Ke Ashou Sharon ya, Mbak?” kata sang sopir taksi pengganti sambil membenarkan letak kaca kecil yang menggantung di langit-langit taksi.
“Ya,” kata Eliana sambil memasang earphone-nya.
Sopir itu menyalakan mesin taksinya dan memasukkan gear satu lalu bergegas menuju tujuan Eliana, SMU Ashou Sharon. Eliana menyandarkan badannya ke sandaran kursi sambil menikmati pemandangan indah kota Titanium dengan lantunan lagu di earphonenya.
Setelah Eliana pergi dengan taksi baru, laki-laki yang menjadi sopir taksi Eliana yang pertama, masih berdiri disamping taksinya. Ia mengambil sebatang rokok lalu dibakarnya dan dinikmatinya sensasi nikotin dalam rokok itu. Laki-laki itu kemudian menghembuskan asap yang menandakan ia sangat menikmatinya. Laki-laki itu mengambil ponselnya dari dalam saku celananya dan menelpon seseorang.
“Halo. Bisa bicara dengan tuan Netron,” kata laki-laki itu sambil mengacak-acak rambut hitamnya. “Hm? Sedang rapat? Baiklah. Beritahukan, bahwa anak itu sudah ditemukan.”
Laki-laki itu memutus perbincangannya. Ponselnya kembali dimasukkannya ke dalam kantong celananya. Ia kemudian melepas kulit sintesis yang ia gunakan untuk menyamar tadi.
“Lain kali aku akan menggunakan masque de la personnalité[[1]].”
Laki-laki itu masuk mobil dan melempar kulit sintesis itu ke kursi sampingnya. Tangan kanannya menekan tombol rahasia yang disembunyikannya di balik handuk kecil dan jadilah mobil itu berubah bentuk, warna, dan plat nomornya, menjadi sebuah mobil hitam keungu-unguan dengan fitur canggih didalamnya.
“Ini lebih bagus,” puji laki-laki itu. “Saatnya kita berpesta, baby.

================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani


Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
================================================================

Eliana keluar dari taksi dan membayar biaya taksinya. Eliana kemudian menggiring kopernya memasuki sebuah gedung yang sangat luas, megah, dan menjulang tinggi. Eliana menempelkan layar Iphone-nya ke alat pendeteksi gedung itu agar datanya masuk ke sekolah itu. Sinar hijau muncul di mesin pendeteksi itu, Eliana pun memasukkan Iphone-nya ke dalam kantong jaketnya lalu menggiring kopernya melewati gerbang pendeteksi yang ada di koridor depan.
Eliana berjalan ke arah timur dan menemukan sebuah lift. Eliana menekan tombol bulat yang ada di samping kanan lift. Pintu lift pun terbuka, Eliana memasuki lift itu dan tiba-tiba ada seorang gadis tidak sengaja menabrak Eliana.
“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud untuk menabrakmu,” kata gadis berambut ungu sepanjang pinggul yang di kuncir dua.
“Tidak apa-apa,” kata Eliana sambil tersenyum. Eliana lalu menekan tombol bertuliskan dorm.
Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Gadis berambut ungu itu keluar lebih dulu.
“EH?! Apa ini? Kok hall lagi?” kata gadis itu celingak-celinguk.
“Jangan khawatir, kita ditempat yang benar kok,” kata Eliana sambil berjalan menggiring kopernya menuju kamar asramanya.
“Tapi, kenapa kita ada di hall?” kata gadis itu bingung.
Eliana berhenti sejenak. “Sepertinya kau tidak membaca fasilitas yang ada di sekolah ini sampai tuntas,” kata Eliana sambil berbalik ke belakang.
“Aku membacanya!” sungutnya.
“Benarkah?” kata Eliana seraya melipat kedua tangannya dan menaikkan salah satu alisnya.
“Itu benar!” sahut gadis itu sambil berekspresi cemberut.
“Kalau kau benar membacanya, pasti sudah tahu kalau sekolah ini memiliki gedung asrama sendiri dan memiliki lift yang bisa bergerak ke segala arah.”
“Ada ya yang seperti itu?” kata gadis itu berbicara sendiri.
Eliana menghela napas. “Makanya, baca informasi itu habis-habis biar jelas duduk permasalahannya,” kata Eliana sambil berjalan meninggalkan gadis itu.
Welcome to Ashou Sharon dorm. May I scan your identity, please?” kata seorang wanita muda penjaga asrama putri. Eliana mengeluarkan Iphone-nya dari kantong jaketnya dan diletakkannya di atas meja. “Thank you,” ujar wanita muda itu lagi.
Wanita muda itu memindai data Eliana ke dalam komputer. Dalam hitungan detik pemindaian pun selesai dan Eliana mendapatkan nomor serta kode kamar asramanya.
Eliana berterima kasih lalu berjalan menuju lift. Eliana menekan tombol segitiga ke atas. Eliana menekan angka 3 yang menunjukkan lantai di mana kamarnya berada.

***

Eliana menempelkan layar Iphone-nya untuk bisa membuka kunci kamar asramanya. Eliana menggiring koper besarnya masuk ke dalam kamar. Eliana meletakkan tas ranselnya di atas ranjang yang ada di sisi kiri kamar. Eliana duduk di atas kasur sambil melihat-lihat betapa besarnya dan lengkapnya kamar ini.
“Serasa hidup di kamar sendiri. Semuanya serba ada. Tempat tidur, meja belajar, laptop, lemari baju, lemari buku, dan semuanya berjumlah dua, kecuali kamar mandinya yang cuma ada satu. Hm...sepertinya aku akan dapat teman satu kamar. Kira-kira siapa ya?”
Eliana bangkit dari duduknya dan mulai merapikan semua barang bawaannya. Di tengah sedang beres-beres, pintu kamar terbuka. Eliana segera menghentikan kegiatannya. Muncullah seseorang berambut kuning sepundak, berkulit putih, dan membawa dua koper dengan dua warna dan ukuran yang berbeda. Eliana membetulkan letak kacamata minus bergagang hitam miliknya.
“Halo. Perkenalkan namaku Emy Watson. Aku murid baru tahun pertama dari kota Citrilofia. Mohon bimbingannya,” ujar perempuan itu dengan sedikit membungkuk.
Eliana tidak menjawab salam dari Emy. Emy merasa bingung kenapa tidak ada jawaban salam darinya. Emy kemudian mengangkat wajahnya dan Emy langsung loncat karena terkejut melihat wajah Eliana begitu dengan wajahnya.
“E-Eliana, apa-apaan kau ini?!” kata Emy kaget.
“Eh?! Kau masih bisa mengenaliku? Padahal kita udah 3 tahun nggak ketemu.”
“Tentu saja mengenalimu. Kau itu kan murid paling ‘aneh’ di sekolah,” kata Emy kesal.
“Hey! Apa maksudmu?”
“Hmph!” kata Emy sambil berlalu ke tempat tidurnya sambil bersungut-ria.
“Ah, kau sedang bersih-bersih ternyata,” kata Emy sambil melepas jaketnya.
“Ya.”
“Hmmm. Kau lanjutkan saja bersih-bersihnya. Aku mau mandi,” kata Emy sambil berlenggang ke kamar mandi.
“Eh? Enak sekali dia menyuruhku bersih-bersih. Bukankah ini kamar milik kita berdua? Kenapa hanya aku yang harus repot-repot membersihkan kamar ini? Dasar kau Emy!!! Aku tidak akan memaafkanmu!!!” teriak Eliana dalam hati.
Emy keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Ia melihat Eliana tertidur pulas dengan tubuh setengah menjuntai ke lantai. Emya hanya bisa geleng-geleng kepala.
“Ia masih ‘aneh’ seperti dulu,” kata Emy sambil berlalu ingin mengganti baju.
Eliana membuka kedua matanya dan bangun dari tidurnya.
“Ah, kau sudah bangun,” kata Emy dari ranjang sebelah sambil membaca novel kesukaannya dengan banyak sekali gulungan-gulungan di kepala Emy. Sepertinya ia berniat untuk mengeriting rambutnya.
“Hm?” respon Eliana yang masih mengumpulkan nyawanya. “Oh, kau.” Eliana lalu tidur lagi. Emy pun melempar Eliana dengan buku novelnya.
“Woy! Kenapa sih kamu itu sukanya melempar buku ke arahku? Apa salahku?!” protes Eliana.
“Salahmu? Salahmu karena mengabaikanku,” kata Emy dengan memberikan tekanan lebih pada kata ‘mengabaikanku’.
“Aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya ingin beristirahat. Membersihkan kamar sebesar ini sendirian membuatku capek tahu!”
“Alasan!”
“Terserah!” Eliana kembali berbaring di kasurnya.
“Nah, Emy?”
“....”
“Eeemyyy,” kata Eliana.
“Ya?” respon Emy di balik buku bacaannya.
“Kau akan masuk kelas apa nanti?”
“Aku akan masuk kelas medis.”
“Medis?” Eliana langsung bangkit, duduk bersila.
“Yup.”
“Apa menariknya masuk kelas medis?” kata Eliana.
Emy menutup buku bacaannya. “Aku sejak dulu ingin menjadi seorang dokter. Dan aku berpikir, kalau aku masuk kelas medis, aku bisa mengenal dunia kesehatan sedikit demi sedikit,” kata Emy sambil menghayal betapa banggaanya menjadi seorang dokter.
By the way,”−Emy melepas kacamatanya−“kamu mau ngambil kelas apa?” tanya Emy yang sudah kembali dari dunia khayalannya.
“Aku ingin ngambil kelas prajurit.”
“Kelas prajurit?”-Emy memiringkan kepalanya sedikit-“Bukankah itu...”
“Yup.”
“Untuk apa kau mengambil kelas itu?”
“Aku ingin mencari kakekku.”
“Bukankah kakekmu...sudah....”
Eliana bangkit dari tempat tidurnya. “Ya, memang kakekku sudah meninggal.”-Eliana berjalan ke arah jendela kamar-“Tapi kami tak menemukan jasadnya.” Eliana menyingkap sedikit gordennya.
“Mungkin saja jasadnya hangus terbakar,” kata Emy menduga-duga.
“Kalau kakekku mati dan jasadnya dibakar hingga hangus, seharusnya ada...” Eliana tiba-tiba teringat sesuatu.
“Ini tidak mungkin,” kata Eliana pada dirinya sendiri.
“Eliana? Ada apa?” Emy menatap Eliana penuh tanya.
“Manusia ataupun hewan, kalau dibakar hingga hangus seharusnya masih ada jasadnya. Walaupun itu sudah tak jelas bentuknya. Tapi...kalau pun disembunyikan...aku rasa tidak.” kata Eliana berbicara sendiri.
Eliana jalan ke sana-ke mari sambil berpikir layaknya detektif. Eliana kemudian terdiam. Emy yang juga penasaran, menyiapkan telinganya untuk mendengarkan penjelasan dari Eliana.
“Sepertinya...dugaanku benar. Kakekku masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat.”
“Kau yakin?”
“Ya!” kata Eliana sambil menoleh ke arah Emy.
“Atas dasar apa?” Emy memiringkan kepalanya ke kiri.
“Seperti yang kukatakan. Kalau kakekku mati di medan perang bersama prajurit yang lain dan mayat-mayatnya di bakar untuk menghilangkan jejak, pasti masih ada jasadnya. Terkecuali, kakekku melawan musuhnya satu lawan satu, dan kakekku kalah. Aku pikir, akan ada beberapa kemungkinan. Satu, kakekku dibunuh lalu di bakar hingga hangus dan jasadnya dilarutkan ke sungai. Dua, kakekku dicelakai tapi tidak sampai membunuhnya dan disembunyikan di suatu tempat. Dan kemungkinan ketiga, kakekku masih hidup dan disembunyikan di suatu tempat.”
“Hebaaaaat. Dia bisa berpikir hingga sejauh itu,” kagum Emy dalam hati.
“Em...kalau dipikir-pikir lagi, kalau musuh melakukan kemungkinan kedua atau kemungkinan ketiga, berarti...kakekku....”
“Kakekmu...apa?” kata Emy semakin penasaran.
“Ah, itu...maaf, aku belum menemukan jawabannya,” kata Eliana diakhiri dengan tawa singkat.
Eliana dan Emy saling diam-diaman sejenak.
“Ini sudah malam. Sebaiknya kita tidur. Besok kita akan ada upacara penyambutan murid baru,” kata Emy sambil meletakkan novelnya dan kacamatanya di atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya dan mematikan lampu tidurnya. “Oh ya, jangan lupa tutup kembali gorden yang kau buka itu dan selamat tidur, Eliana.”
“Ah, iya. Selamat tidur, Emy,” balas Eliana pelan. Ia kemudian menutup kembali gorden kamar mereka dan segera pergi tidur.



[1] masque de la personnalité diambil dari bahasa Perancis yang artinya “topeng kepribadian” 




=================================================================
MAIN MENU                                                                               NEXT
=================================================================

The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani


Dilarang mengcopy-paste isi novel ini

2 komentar:

  1. maaf nih sebelumnya cuman mau tanya pada bab 1 ada terdapat kata "ujar eliana" bukankah lebih bagus kalau diganti dengan "kata eliana" atau emang disengaja ?

    btw aku juga orang kalsel ,salam orang banua :D

    BalasHapus
  2. Halo, cerita ini menarik dan dikemas sangat ringan, saya langsung menyukainya. kepada author mohon maaf sebelumnya saya mau minta izin. saya sedang belajar bahasa mandarin kurang lebih udah 4 bulan, saya belajar untuk bekal study ke taiwan inshaallah tahun depan, sekiranya boleh tidak ya saya mentranslate cerita ini kebahasa mandarin untuk pengembangan diri saya? saya hanya akan menulisnya di buku saya dan tidak akan pernah di komersialkan. thanks in advace author.

    BalasHapus