Minggu, 08 Juni 2014

The Six Symbol: Bab 2 - Selamat Datang di Ashou Sharon

Judul        : THE SIX SYMBOL
Pengarang : Eni Hariani
Genre       : Action, Fantasy, Supernatural, Sci-fi
Rate         : Remaja
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
=================================================================



BAB 2

SELAMAT DATANG DI ASHOU SHARON



 

Eliana merapikan dasi abu-abunya, seragam putih abu-abunya, dan jas abu-abunya. Sementara itu Emy mengoleskan pelembab di wajahnya dan lip gloss warna merah jambu di bibir merahnya. Eliana memperhatikan kegiatan Emy dengan seksama dari pantulan cerminnya.
 “Kau mau?” tawar Emy menunjukkan lip gloss di tangan kirinya melalui pantulan cermin mereka berdua.
 Eliana menatap pantulan lip gloss di cerminnya lalu menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”
 “Baiklah kalau begitu.” Emy menutup dan menyimpan lip gloss-nya di laci cermin hiasnya.
 Emy merapikan rambut keritingnya, memeriksa apakah ada yang kurang dari penampilannya lalu mengenakan kacamata imitasi berwarna merah marun. Eliana mengambil tas ransel hitamnya dan keluar dari kamar sambil menenteng sepatu hitamnya.
 “Dia tak berubah,” pikir Eliana sambil geleng-geleng kepala.
 Lift asrama begitu sesak dan Emy mulai kegerahan. Emy mengibas-ngibaskan telapak tangannya untuk mengeringkan keringatnya. Eliana ingin membantu tapi tak bisa. Kondisinya sangat tidak memungkinkan untuk membantu Emy. Eliana terjepit oleh dua siswi senior yang berdada besar. Agak risih sih. Tapi apa boleh buat. Tak lama kemudian pintu lift terbuka dan segera saja semua siswi keluar dari lift itu.
 “Fuahhh. Akhirnyaaaaa,” kata Emy yang penuh dengan keringat. Eliana membuka tas ranselnya dan memberikan Emy sebungkus tisu mini.
 “Terima kasih Eliana,” kata Emy menerima pemberian itu.
 “A~h pelembabku luntur. Aku harus mengolesnya lagi. Tapi...a~h aku tak membawa peralatan make up ku!” gerutu Emy.
 “Hahh.... Anak ini. Kayak tante-tante aja, make up luntur aja ribut,” kata Eliana dalam hati.
 Eliana dan Emy akhirnya tiba di aula serbaguna. Ruangan aula serbaguna kini sudah penuh dengan kehadiran para guru, kepala sekolah, para orang tua murid baru, kakak senior yang bertugas sebagai panitia acara penyambutan murid baru, dan yang terakhir...para murid tahun pertama Ashou Sharon. 
“Selamat pagi semuanya,” sapa Lumia−siswi SMA kelas XI, yang hari ini bertugas sebagai pembawa acara di upacara penyambutan murid baru Ashou Sharon tahun ini.
 “Puji syukur kita semua panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Hari ini kita semua bisa berkumpul di tempat ini dengan keadaan sehat wal‘afiat. Tanpa membuang-buang waktu, kita langsung saja mempersilahkan kepala sekolah kita Bapak Ganesha Balada untuk memberikan sambutan motivasinya untuk para murid baru”
Pak Ganesha pun bangkit dari kursinya dan melangkah naik ke panggung. Beliau mengucapkan salam kepada seluruh yang ada di aula serbaguna itu dan memanjatkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas kebaikan-Nya kepada seluruh umatnya. Lalu pak Ganesha pun memulai sambutan singkatnya. Beliau lebih banyak memberikan motivasi dan nasehat kepada murid-murid barunya agar menjadi orang yang sukses dan berguna bagi bangsa dan negara. Terkadang beliau juga memberikan lelucon di sela-sela pidatonya.
Kurang lebih 25 menit pak Ganesha telah selesai memberikan sambutannya dan diakhiri oleh riuhnya tepuk tangan oleh semua orang yang ada di ruangan itu. Kemudian Lumia mengambil alih acara. Dan sekarang ia memanggil ketua OSIS Ashou Sharon−Satiaji Prayoko untuk memberikan kata sambutan juga.
Aji tak terlalu banyak bicara dalam sambutannya. Ia hanya mengingatkan akan pentingnya mematuhi aturan di sekolah dan mematuhi perintah guru. Ia juga menasehati para adik kelasnya untuk selalu disiplin dalam hal apa saja, bersikap yang sopan kepada siapapun, harus beretika yang baik, dan masih banyak lagi nasehat yang dipaparkan oleh Aji dalam pidato sambutannya. Semuanya pun bertepuk tangan setelah Aji menutup pidatonya.
Acara penyambutan murid baru pun usai. Semua tamu undangan pun pulang. Kini tinggallah para murid baru dan para kakak panitia MOS.
“Selamat pagi semuanya!!!” sapa Song penuh semangat.
“Selamat pagi kak,” respon murid tahun pertama.
“Masih semangat kan?” kata Song sambil mengedipkan salah satu matanya.
“Ya!!!” seru para murid baru serempak penuh semangat.
“Bagus!” kata Song sambil tersenyum senang. “Perkenalkan, nama kakak, Song. Kakak murid kelas XII. Kakak merupakan ketua panitia acara MOS tahun ini. Oh ya, sebelumnya, terima kasih kepada kak Lumia karena telah mempersilahkan saya untuk berdiri disini.”
“Seperti yang direncanakan, hari ini kita akan bermain suatu permainan,” kata Song lagi.
“Permainan?” tanya para murid baru sermpak.
“Yup. Permainannya simple kok. Kalian hanya mencari sebanyak-banyaknya telur yang bercorak cantik ini,” kata Song sambil menunjukkan telur yang dihias-hias dengan pewarna anti luntur, ya bisa dibilang itu mirip telur paskah.
“Nah, oleh karena itu, kakak beserta tim telah membentuk kelompok game untuk kalian. Setiap kelompok terdiri atas 6 orang,” kata Song lagi.
“Kak Lumia akan menyebutkan nama-nama kalian dan kalian langsung berbaris di tempat yang sudah ditentukan. Jadi, kalian jangan ribut agar acara ini cepat selesai dan kita bisa segera makan siaaang!” kata Song lebih bersemangat.
“Song, jam makan masih 6 jam lagi.” kata Signa dari samping panggung sambil berlipat tangan di dada.
“Iya aku tahu. Tapi aku sudah tidak tahan ingin melahap habis masakanmu Signa-ku sayang~” kata Song berekspresi manja.
“Dasar cowok genit!” kata Signa ketus.
“Bukankah karena itu kau jatuh cinta padaku Signa?” kata Song mengedip-ngedipkan kedua matanya dan berekspresi seimut mungkin. Namun Signa mengabaikan itu dan kembali menemui teman-temannya yang satu tugas dengannya.
“Baiklah adik-adikku sekalian. Mari kita mulai pembagian kelompoknya,” kata Lumia mengambil alih acara.
Lumia pun memanggil nama-nama murid baru satu per satu dan setiap yang namanya dipanggil akan menempati tempat yang sudah disediakan. Lalu setiap kelompok menunjuk siapa ketua kelompoknya. Setelah itu setiap ketua kelompok akan diberi kertas yang berisi intruksi dari permainan ini.
“Baiklah, adik-adikku sekalian. Waktu kalian sampai jam 12 nanti. Kumpulkan telur-telur yang ada di dalam daftar yang kalian pegang. Setelah semuanya terkumpul, datanglah ke pos jaga tujuan kalian dan serahkan telur-telur itu kepada kakak-kakak panitia yang berjaga di sana,” jelas Lumia. “Apa semua sudah jelas?”
“Ya,” respon para murid baru.
“Kurang semangat. Apa semua sudah jelas?!!”
“Ya!!!”“Bagus!” kata Lumia senang. “Selamat menikmati permainan ini adik-adikku sekalian.”
Setelah mendengar kata “Mulai” dari Lumia, semua  murid baru yang terdiri atas 21-22 kelompok segera menyebar mencari telur berwarna unik yang terdaftar di daftar mereka.
“Baiklah semuanya, kita akan membentuk tiga kelompok kecil,” kata Mega sang ketua kelompok 6. “Setiap kelompok kecil terdiri atas 4 orang. Kalian boleh pilih sendiri teman kelompok kalian masing-masing. Lili, Eka, dan Stefani, ikut aku.”
“Oke bos,” kata Lili, Eka, dan Stefani bersamaan.
Mega dan kawan-kawannya pergi lebih dulu sedangkan yang lainnya masih sibuk membentuk kelompok.
“Eliana!” seru Emy sambil berlari menghampiri Eliana yang masih sibuk mencari anggota untuk kelompoknya. “Aku sudah mendapatkan dua orang untuk melengkapi kelompok kecil kita.”
“Benarkah?”
“Yup.” Emy tersenyum bahagia.
Eliana tersenyum tipis. “Kau selalu saja lebih cepat mendapatkan anggota kelompok dibanding diriku.”
“Soalnya aku kan pake jurus rahasia,” kata Emy sembari mengedipkan salah satu matanya.
“Ya. Ya. Jurus rahasia,” kata Eliana sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi, siapa yang kau rekrut tadi?”
“Itu,” kata Emy sambil menunjuk dua orang cowok yang jauh banget tinggi badannya dan memiliki paras yang berbeda. Yang pendek, berparas cantik dan ramah, sedangkan yang tinggi berparas tampan dan dingin.“Em...yang pendek itu...cewek apa cowok?” bisik Eliana.
“Cowoklah,” kata Emy.
“Kau...tidak bercandakan?”
“Engggak. Dia cowok tulen. Serius!” Emy mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga membentuk huruf ‘V’.
Eliana memandang cowok berparas cantik itu sekali lagi dan mencari tanda-tanda kelaki-lakian dari si chibi itu.
“Em..baiklah. Ayo kita segera mencari telur berwarna itu,” ajak Eliana.
“Eh? Kamu nggak kenalan dulu sama mereka berdua?”
“Kenalannya sambil jalan juga nggak masalah,” ujar Eliana yang sudah jauh di depan.
Emy memandangi kedua cowok itu dan punggung Eliana berkali-kali dan akhirnya ia memutuskan untuk mengajak kedua cowok itu dan segera mengejar Eliana.
“Jadi...nama kalian berdua adalah Kiki Amaleon dan Kim Dong Su,” kata Eliana dalam perjalanan mereka ke taman sekolah.
“Ya. Dan aku sepupunya Emy,” ujar Kiki-si cowok berparas cantik.
Eliana menghentikan langkahnya, langsung menatap Kiki yang sudah berjalan di sisi kirinya.
“K-kau...sepupunya...Emy?” kata Eliana mencoba meredam rasa terkejutnya.
“Yup,” kata Kiki sembari tersenyum.
Eliana sedikit memiringkan kepalanya. “Nggak ada miripnya,” lirih Eliana.
“Maaf?” kata Kiki.
“Kamu nggak ada miripnya dengan Emy,” ulang Eliana.
“Ha?”
Emy memukul kepala Eliana dengan sebungkus tisu tangan yang masih utuh.
“Tentu saja aku dengan Kiki itu berbeda, kan kami beda orangtua. Bagaimana sih kamu ini?”
“Lho? Tapi adik sepupuku ada mirip-miripnya sama kakakku,Erik, loh.”
“Itu hanya kebetulan,” kata Emy.
“Benarkah?” ucap Eliana dengan tampang lugunya.
“Ya,” ucap Emy sedikit enggan. Enggan melihat tampang Eliana yang seolah-olah lugu itu.
“Sudah ah. Kita ke sini itu mencari telur bukan memperdebatkan silsilah keluargaku!” kata Emy lagi sambil mulai mencari telur-telur cantik itu di sela-sela tumbuhan yang ada di taman sekolah.
Di tempat lain, di sebuah ruangan dengan pencahayaan yang minim, ada seorang pemuda sedang sibuk menghadap layar-layar yang berisikan gambar-gambar hasil pantauan kamera CCTV.
“Bagaimana hasilnya?” kata Aji.
Song menghela napas.
“Buruk! Ini sangat buruk! Mereka berhasil menemukan semua telur itu tapi mereka mendapatkannya secara individual bukan karena kerja sama,” kata Song seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan menengadahkan kepalanya serta memejamkan kedua matanya.
“Tapi...kulihat dua murid ini...,” kata Aji sambil menunjuk layar yang menunjukkan Eliana dan Emy yang sedang sibuk mencari telur hias di taman sekolah. “Mereka tampaknya bekerja sama.”
“Ya. Hanya mereka berdua yang bekerja sama atau lebih tepatnya hanya kelompok mereka yang bekerjasama. Yang lainnya buruk!”
“Hm... kalau tidak salah di antara murid baru, ada yang ikut Akademik Marionette kan?”
“Ya, ada 135 murid dari keseluruhannya. Tapi kalau mereka tidak bisa bekerja sama, percuma saja mereka masuk Marionette! Marionette bukanlah tempat untuk pamer! Tapi untuk melindungi negara dari shadow!” kata Song kesal.
“Ya. Ya. Aku mengerti perasaanmu, Song. Sabar. Sabar. Jangan marah. Nanti cepat tua loh. Kasihan Signa.”
“Nggak ada hubungannya dengan Signa tahu!”
“Iya. Iya. Tapi kalau kamu tua duluan, ntar anakmu ngira kamu itu kakeknya bukan ayahnya.”
Song memukul kepala Aji dengan papan ujian yang menyangga kertas observasinya dengan ekspresi yang menunjukkan dia lagi nggak mau di ajak bercanda. Aji tertawa menutupi rasa sakit di kepalanya.
“Oh ya. Apa malam ini kita akan patroli lagi? Kau tahu kan, mereka pasti akan datang,” kata Song.
“Aku sih maunya nggak jaga malam kayak tahun lalu. Kasihan juga. Sudah jaga malam, mereka juga harus melawan orang-orang aneh itu,” kata Aji.
“Ya, aku juga merasa kasihan. Lalu apa solusinya?”
“Aku akan mencoba membujuk adik-adik kita untuk tidak keluar malam.”
“Apa itu akan efektif?”
“Entahlah. Tapi aku harap ini efektif.”
“Membujuk manusia sebanyak hampir 300 orang tidak semudah membalikkan tangan. Kau yakin ini akan berhasil?”
“Aku harap begitu.”
“Jadi pada intinya kita akan tetap jaga malam bukan?”
“Ya begitulah.”
  
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
=================================================================

Kantin sekolah Ashou Sharon yang luas itu begitu ramai, membuat tim Signa sedikit gelabakan karena para murid baru ada beberapa yang membandel disuruh untuk mengantri dengan tertib. Dan itu membuat Signa marah-marah saat ketahuan ada yang tidak tertib.
“Hey, kalian ini kan sudah besar. Sudah remaja. Yang tertib dong!” ujar Signa kesal.
“Iya sih. Tapi kan kami remaja labil,” ujar seorang siswi.
“Hey! Kalau diperingatkan itu jangan mengejek begitu!”
“Masbuloh?” kata siswi itu sambil mulai memainkan ponselnya dengan tampang tak merasa berdosa.
Kening Signa berdenyut. Darahnya mendidih. Kesabarannya sudah di ambang batas normal. Dengan amarah yang luar biasa, Signa melempar sebuah baskom stainless kosong berukuran sedang ke arah siswi yang sedang duduk di atas meja dan tepat sasaran. Semuanya terdiam seketika. Siswi itu meringis kesakitan dan berteriak siapa yang melemparnya dengan sebuah baskom kosong.
“Aku yang melempar. Kenapa? Mau protes?” kata Signa sambil berkacang pinggang.
“Ya!” kata siswi itu sambil melotot.
“Atas dasar apa?”
“Karena kamu menganiayaku!”
“Oh? Hanya karena itu? Emang kamu punya berapa taring?”
“Banyak! Ayahku seorang menteri dan ayahku punya banyak aliansi!”
“Hmph! Jadi anjing negara aja bangga,” ejek Signa.
“Hey! Jangan mengejek jabatan ayahku sembarangan!”
Signa memasang wajah jutek dan cuek. Siswi itu mengepalkan tinjunya.
“Menurutku Marionettelah yang pantas di sebut anjing negara,” ujar siswi itu.
Excuse me?”
“Kalian itu mesin pembunuh. Tidak pantas mengatakan ayahku anjing negara. Kalianlah yang pantas disebut anjing negara. Karena kalian mesin pembunuh.”
“Kau...
Pintu kantin terbuka. Sekumpulan cowok tampan dan penuh kharisma memasuki kantin SMA Ashou Sharon.
“Ah~. Akhirnya~ aku bisa menikmati masakanmu Signa-ku sayang~,” kata Song langsung berlari dengan kecepatan cahaya, memeluk pacarnya-Signa.
“Song, hentikan! Apa-apaan kau ini?! Kau tidak malu ya sama semuanya?!” kata Signa.
“Selama ada kau, aku tidak akan malu melakukan apapun.”
“Lepaskan Song! Aku sedang sibuk!”
“Nggak mau,” ujar Song sembari memonyong-moyongkan bibirnya agar bisa mencium kekasihnya yang lebih tinggi darinya itu. Tapi sayang, Signa memanfaatkan tinggi tubuhnya untuk menghindari kemodusannya Song. Teman-teman Signa yang bertugas sebagai tim kosumsi tertawa kecil melihat tingkah sepasang kekasih itu yang sangat mesra itu.
“Dasar Song. Tak henti-hentinya dia berbuat yang memalukan begitu di depan semua orang,” kata Kyo.
“Ya memang begitulah dia,” kata Jo.
“Orang yang sedang jatuh cinta itu akan melakukan apa pun untuk cintanya, karena itu lah kenapa cinta itu buta,” kata Sam bersyair.
“Oh, jangan lagi,” kata Kyo menyangga keningnya dengan satu tangan.
“Sam, tak bisakah kau tak bersyair setiap kau berbicara?” kata Jo.
“Memangnya kenapa?” kata Sam sambil bersyair.
“Kalau aku boleh jujur, suaramu lebih hancur daripada suara Rin adiknya Kyo,” kata Jo tanpa ekspresi.
“Kau sungguh jahat Jo~” kata Sam lebay dan mulai nangis sesunggukkan.
Kyo menghela napas. “Dia nggak pernah berubah,” kata Kyo geleng-geleng kepala.
“Ya. Kuharap dia masih ‘bisa’ kembali normal,” kata Jo.
“Hei, ngomong-ngomong, ngapain loe bawa-bawa nama adik gue?” kata Kyo.
“Masbuloh?” kata Jo santai tanpa merasa bersalah, berjalan ke meja dapur yang penuh dengan deretan menu makan siang yang sangat menggiurkan.
Baru menjulurkan tangan ingin mengambil paha ayam, Jo sudah kena semprot dari Signa.
“Oh, jadi dari sini toh akar dari ketidaktertiban ini,” kata Signa dengan tatapan kematiannya.
Jo tertawa hambar. “Maaf, Signa. Maaf.”
“Kalau mau makan, tunggu antrian Anda tiba,” kata Signa dengan kedua tangan dilipat di dada.
Jo terseyum hambar lalu balik badan dan menunggu antrian selesai di meja kantin.
“Kena semprot ya?” kata Kyo. “Sabar ya?” Kyo menepuk-nepuk pundak Jo sambil tersenyum sedikit mengejek.
Jo mendengus kesal. Kyo terkekeh melihatnya.
“Dia galak amat sih jadi cewek!” sungut Jo.
Kantin begitu ramai. Semuanya duduk di kelompoknya masing-masing, bercengkrama-ria. Ada beberapa murid yang bermain lempar-lemparan hingga Signa harus berkicau lebih kencang lagi dan hampir saja perang pecah di kantin namun Song segera menggeret pacarnya itu agar semuanya damai. Namun kekuatan fisik Song tak sebanding dengan amarahnya Signa. Ditengah-tengah suasana kantin yang hancur kayak kapal pecah, Aji berusaha meredakannya sejenak dan mendengarkan apa yang ingin disampaikannya.
Aji berdeham keras. “Perhatian semuanya!” kata Aji dengan suara keras. “Hari pertama MOS berakhir. Semuanya bisa pergi beristirahat setelah ini. Besok kita akan melaksanakan hari MOS yang kedua. Akan ada kejutan di MOS besok.”
Semua murid baru bersorak gembira.
“Oh ya, ada satu aturan yang harus kalian patuhi,” kata Aji memecah sorak kegembiraan itu. “Apapun yang terjadi, kalian tidak boleh keluar asrama pada malam hari.”
“Kenapa?” tanya seorang siswa berambut cokelat cepak.
“Akhir-akhir ini banyak sekali penculikan anak di bawah umur seperti kalian.”
“Untuk apa mereka menculik anak-anak seperti kami?” kata seorang siswi berambut kuning sepinggang diikat ponytail.
“Aku tidak tahu. Yang jelas...kalian harus mentaati ucapanku bila kalian ingin masih hidup,” ucap Aji dengan intonasi yang sangat mengerikan di akhir ucapannya.
Para murid baru tidak bisa berkutik. Mereka memilih menurut walaupun mereka sangat ingin tahu apa alasan dengan adanya aturan itu.

***

 Eliana dan Emy kembali ke kamar mereka. Emy sepanjang jalan mengomel tak jelas. Eliana menoleh ke arah Emy dan berpikir, Emy nampaknya masih kesal kepada Kiki yang tak sengaja menjatuhkan ayam gorengnya saat makan siang tadi. Eliana lalu menghadap ke depan lagi, mempercepat langkahnya menuju kamar asrama mereka.
Emy keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Disaat yang bersamaan Eliana duduk di ranjangnya sambil membaca komik favoritnya.
“Kau tidak mandi Eliana?” kata Emy yang sudah berpakaian rapi.
“Aku mandi.”Eliana mendongak“Kau sudah selesai?”
“Yup.”
“Baiklah....” Eliana menutup komiknya dan segera pergi ke kamar mandi.
Tak lama kemudian Eliana keluar dari kamar mandi dan sedang mengeringkan rambutnya.
Emy membolak-balikkan komik milik Eliana. “Kau tidak bosan ya membaca komik dari dulu sampai berumur 15 tahun?”
“Tidak,” kata Eliana sambil berjalan ke meja riasnya untuk meletakkan hairdryer miliknya.
“Kenapa?” kata Emy meletakkan komik di tangannya ke atas meja kecil samping ranjang Eliana.
“Karena....”−Eliana duduk di kursi meja belajarnya dan menghadap ke arah Emy−“Komik itu menarik.”
“Apa menariknya?”
“Aku suka cara komikusnya melukiskan semua ekpresi setiap tokohnya diceritanya dan gambarnya juga bagus.”
“Oh...” kata Emy sambil melihat sejenak komik milik Eliana. “Ah. Sudah waktunya tidur siang,” katanya sambil berlalu ke tempat tidurnya
“Ah, iya,” kata Eliana bangkit dari kursi meja belajarnya.
“Selamat tidur siang Eliana,” kata Emy sebelum ia menutup kedua matanya dan pergi ke dunia mimpi.
“Selamat tidur.”
“Ah, Eliana.” Emy bangkit dari tidurannya.
“Ya?”
“Em...tidak jadi. Selamat tidur!” kata Emy dengan segera membenamkan wajahnya di bantalnya.
Eliana masih terpaku bingung di sisi ranjangnya dengan kaki kanan yang sudah naik ke atas ranjang. Eliana membuat ekspresi aneh diwajahnya lalu mengangkat kedua pundaknya, seolah-olah ia berkata “Hm? Apa maksudnya itu?...Ah, biarlah.”
Seorang wanita mengenakkan jas krim dan rok cokelat yang ketat sebatas lutut, berlenggak-lenggok di sepanjang koridor asrama dengan santainya. Rambutnya yang berwarna merah, sangat mencolok di tengah-tengah terangnya koridor asrama. Bunyi sepatu high heels-nya sangat jelas terdengar 'clank-clank' setiap ia berjalan. Wanita itu kemudian berhenti di setiap kamar dan menyelipkan sesuatu di bawah pintu.
Fufufu. The six symbol. I’ll catch you,” kata wanita itu tersenyum sambil berjalan meninggalkan asrama murid Ashou Sharon.





=================================================================
   BACK                                MAIN MENU                                  NEXT
=================================================================

The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani


Dilarang mengcopy-paste isi novel ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar