Judul : THE SIX SYMBOL
Pengarang : Eni Hariani
Genre : Action, Fantasy, Supernatural, Sci-fi
Rate : Remaja
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
=================================================================
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
BAB 2
SELAMAT DATANG DI ASHOU SHARON
Eliana merapikan dasi abu-abunya, seragam
putih abu-abunya, dan jas abu-abunya. Sementara itu Emy mengoleskan pelembab di
wajahnya dan lip gloss warna merah jambu di bibir merahnya. Eliana
memperhatikan kegiatan Emy dengan seksama dari pantulan cerminnya.
“Kau mau?” tawar Emy menunjukkan lip
gloss di tangan kirinya melalui pantulan cermin mereka berdua.
Eliana menatap pantulan lip gloss
di cerminnya lalu menggeleng. “Tidak. Terima kasih.”
“Baiklah kalau begitu.” Emy menutup
dan menyimpan lip gloss-nya di laci cermin hiasnya.
Emy merapikan rambut keritingnya,
memeriksa apakah ada yang kurang dari penampilannya lalu mengenakan kacamata
imitasi berwarna merah marun. Eliana mengambil tas ransel hitamnya dan keluar
dari kamar sambil menenteng sepatu hitamnya.
“Dia tak berubah,” pikir Eliana sambil
geleng-geleng kepala.
Lift asrama begitu sesak dan Emy mulai
kegerahan. Emy mengibas-ngibaskan telapak tangannya untuk mengeringkan
keringatnya. Eliana ingin membantu tapi tak bisa. Kondisinya sangat tidak
memungkinkan untuk membantu Emy. Eliana terjepit oleh dua siswi senior yang
berdada besar. Agak risih sih. Tapi apa boleh buat. Tak lama kemudian pintu
lift terbuka dan segera saja semua siswi keluar dari lift itu.
“Fuahhh. Akhirnyaaaaa,” kata Emy yang
penuh dengan keringat. Eliana membuka tas ranselnya dan memberikan Emy
sebungkus tisu mini.
“Terima kasih Eliana,” kata Emy
menerima pemberian itu.
“A~h pelembabku luntur. Aku harus
mengolesnya lagi. Tapi...a~h aku tak membawa peralatan make up ku!” gerutu Emy.
“Hahh.... Anak ini. Kayak tante-tante
aja, make up luntur aja ribut,” kata Eliana dalam hati.
Eliana dan Emy akhirnya tiba di aula
serbaguna. Ruangan aula serbaguna kini sudah penuh dengan kehadiran para guru,
kepala sekolah, para orang tua murid baru, kakak senior yang bertugas sebagai
panitia acara penyambutan murid baru, dan yang terakhir...para murid tahun
pertama Ashou Sharon.
“Selamat pagi semuanya,” sapa Lumia−siswi
SMA kelas XI, yang hari ini bertugas sebagai pembawa acara di upacara
penyambutan murid baru Ashou Sharon tahun ini.
“Puji syukur kita semua panjatkan ke
hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Hari ini kita semua bisa berkumpul di tempat ini
dengan keadaan sehat wal‘afiat. Tanpa membuang-buang waktu, kita langsung saja
mempersilahkan kepala sekolah kita Bapak Ganesha Balada untuk memberikan
sambutan motivasinya untuk para murid baru”
Pak Ganesha pun bangkit dari kursinya dan
melangkah naik ke panggung. Beliau mengucapkan salam kepada seluruh yang ada di
aula serbaguna itu dan memanjatkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas
kebaikan-Nya kepada seluruh umatnya. Lalu pak Ganesha pun memulai sambutan
singkatnya. Beliau lebih banyak memberikan motivasi dan nasehat kepada
murid-murid barunya agar menjadi orang yang sukses dan berguna bagi bangsa dan
negara. Terkadang beliau juga memberikan lelucon di sela-sela pidatonya.
Kurang lebih 25 menit pak Ganesha telah
selesai memberikan sambutannya dan diakhiri oleh riuhnya tepuk tangan oleh
semua orang yang ada di ruangan itu. Kemudian Lumia mengambil alih acara. Dan
sekarang ia memanggil ketua OSIS Ashou Sharon−Satiaji Prayoko untuk memberikan
kata sambutan juga.
Aji tak terlalu banyak bicara dalam
sambutannya. Ia hanya mengingatkan akan pentingnya mematuhi aturan di sekolah
dan mematuhi perintah guru. Ia juga menasehati para adik kelasnya untuk selalu
disiplin dalam hal apa saja, bersikap yang sopan kepada siapapun, harus
beretika yang baik, dan masih banyak lagi nasehat yang dipaparkan oleh Aji
dalam pidato sambutannya. Semuanya pun bertepuk tangan setelah Aji menutup
pidatonya.
Acara penyambutan murid baru pun usai. Semua
tamu undangan pun pulang. Kini tinggallah para murid baru dan para kakak
panitia MOS.
“Selamat pagi semuanya!!!” sapa Song penuh
semangat.
“Selamat pagi kak,” respon murid tahun
pertama.
“Masih semangat kan?” kata Song sambil
mengedipkan salah satu matanya.
“Ya!!!” seru para murid baru serempak penuh
semangat.
“Bagus!” kata Song sambil tersenyum senang.
“Perkenalkan, nama kakak, Song. Kakak murid kelas XII. Kakak merupakan ketua
panitia acara MOS tahun ini. Oh ya, sebelumnya, terima kasih kepada kak Lumia
karena telah mempersilahkan saya untuk berdiri disini.”
“Seperti yang direncanakan, hari ini kita
akan bermain suatu permainan,” kata Song lagi.
“Permainan?” tanya para murid baru sermpak.
“Yup. Permainannya simple kok. Kalian hanya
mencari sebanyak-banyaknya telur yang bercorak cantik ini,” kata Song sambil
menunjukkan telur yang dihias-hias dengan pewarna anti luntur, ya bisa dibilang
itu mirip telur paskah.
“Nah, oleh karena itu, kakak beserta tim
telah membentuk kelompok game untuk kalian. Setiap kelompok terdiri atas 6
orang,” kata Song lagi.
“Kak Lumia akan menyebutkan nama-nama kalian
dan kalian langsung berbaris di tempat yang sudah ditentukan. Jadi, kalian
jangan ribut agar acara ini cepat selesai dan kita bisa segera makan siaaang!”
kata Song lebih bersemangat.
“Song, jam makan masih 6 jam lagi.” kata
Signa dari samping panggung sambil berlipat tangan di dada.
“Iya aku tahu. Tapi aku sudah tidak tahan
ingin melahap habis masakanmu Signa-ku sayang~” kata Song berekspresi manja.
“Dasar cowok genit!” kata Signa ketus.
“Bukankah karena itu kau jatuh cinta padaku
Signa?” kata Song mengedip-ngedipkan kedua matanya dan berekspresi seimut
mungkin. Namun Signa mengabaikan itu dan kembali menemui teman-temannya yang
satu tugas dengannya.
“Baiklah adik-adikku sekalian. Mari kita
mulai pembagian kelompoknya,” kata Lumia mengambil alih acara.
Lumia pun memanggil nama-nama murid baru
satu per satu dan setiap yang namanya dipanggil akan menempati tempat yang
sudah disediakan. Lalu setiap kelompok menunjuk siapa ketua kelompoknya.
Setelah itu setiap ketua kelompok akan diberi kertas yang berisi intruksi dari
permainan ini.
“Baiklah, adik-adikku sekalian. Waktu kalian
sampai jam 12 nanti. Kumpulkan telur-telur yang ada di dalam daftar yang kalian
pegang. Setelah semuanya terkumpul, datanglah ke pos jaga tujuan kalian dan
serahkan telur-telur itu kepada kakak-kakak panitia yang berjaga di sana,”
jelas Lumia. “Apa semua sudah jelas?”
“Ya,” respon para murid baru.
“Kurang semangat. Apa semua sudah jelas?!!”
“Ya!!!”“Bagus!” kata Lumia senang. “Selamat
menikmati permainan ini adik-adikku sekalian.”
Setelah mendengar kata “Mulai” dari Lumia,
semua murid baru yang terdiri atas 21-22 kelompok segera menyebar mencari
telur berwarna unik yang terdaftar di daftar mereka.
“Baiklah semuanya, kita akan membentuk tiga
kelompok kecil,” kata Mega sang ketua kelompok 6. “Setiap kelompok kecil
terdiri atas 4 orang. Kalian boleh pilih sendiri teman kelompok kalian
masing-masing. Lili, Eka, dan Stefani, ikut aku.”
“Oke bos,” kata Lili, Eka, dan Stefani
bersamaan.
Mega dan kawan-kawannya pergi lebih dulu
sedangkan yang lainnya masih sibuk membentuk kelompok.
“Eliana!” seru Emy sambil berlari
menghampiri Eliana yang masih sibuk mencari anggota untuk kelompoknya. “Aku
sudah mendapatkan dua orang untuk melengkapi kelompok kecil kita.”
“Benarkah?”
“Yup.” Emy tersenyum bahagia.
Eliana tersenyum tipis. “Kau selalu saja
lebih cepat mendapatkan anggota kelompok dibanding diriku.”
“Soalnya aku kan pake jurus rahasia,” kata
Emy sembari mengedipkan salah satu matanya.
“Ya. Ya. Jurus rahasia,” kata Eliana sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi, siapa yang kau rekrut tadi?”
“Itu,” kata Emy sambil menunjuk dua orang
cowok yang jauh banget tinggi badannya dan memiliki paras yang berbeda. Yang
pendek, berparas cantik dan ramah, sedangkan yang tinggi berparas tampan dan
dingin.“Em...yang pendek itu...cewek apa cowok?” bisik Eliana.
“Cowoklah,” kata Emy.
“Kau...tidak bercandakan?”
“Engggak. Dia cowok tulen. Serius!” Emy
mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga membentuk huruf ‘V’.
Eliana memandang cowok berparas cantik itu
sekali lagi dan mencari tanda-tanda kelaki-lakian dari si chibi itu.
“Em..baiklah. Ayo kita segera mencari telur
berwarna itu,” ajak Eliana.
“Eh? Kamu nggak kenalan dulu sama mereka
berdua?”
“Kenalannya sambil jalan juga nggak
masalah,” ujar Eliana yang sudah jauh di depan.
Emy memandangi kedua cowok itu dan punggung
Eliana berkali-kali dan akhirnya ia memutuskan untuk mengajak kedua cowok itu
dan segera mengejar Eliana.
“Jadi...nama kalian berdua adalah Kiki
Amaleon dan Kim Dong Su,” kata Eliana dalam perjalanan mereka ke taman sekolah.
“Ya. Dan aku sepupunya Emy,” ujar Kiki-si
cowok berparas cantik.
Eliana menghentikan langkahnya, langsung
menatap Kiki yang sudah berjalan di sisi kirinya.
“K-kau...sepupunya...Emy?” kata Eliana
mencoba meredam rasa terkejutnya.
“Yup,” kata Kiki sembari tersenyum.
Eliana sedikit memiringkan kepalanya. “Nggak
ada miripnya,” lirih Eliana.
“Maaf?” kata Kiki.
“Kamu nggak ada miripnya dengan Emy,” ulang
Eliana.
“Ha?”
Emy memukul kepala Eliana dengan sebungkus
tisu tangan yang masih utuh.
“Tentu saja aku dengan Kiki itu berbeda, kan
kami beda orangtua. Bagaimana sih kamu ini?”
“Lho? Tapi adik sepupuku ada mirip-miripnya
sama kakakku,Erik, loh.”
“Itu hanya kebetulan,” kata Emy.
“Benarkah?” ucap Eliana dengan tampang
lugunya.
“Ya,” ucap Emy sedikit enggan. Enggan
melihat tampang Eliana yang seolah-olah lugu itu.
“Sudah ah. Kita ke sini itu mencari telur
bukan memperdebatkan silsilah keluargaku!” kata Emy lagi sambil mulai mencari
telur-telur cantik itu di sela-sela tumbuhan yang ada di taman sekolah.
Di tempat lain, di sebuah ruangan dengan
pencahayaan yang minim, ada seorang pemuda sedang sibuk menghadap layar-layar
yang berisikan gambar-gambar hasil pantauan kamera CCTV.
“Bagaimana hasilnya?” kata Aji.
Song menghela napas.
“Buruk! Ini sangat buruk! Mereka berhasil
menemukan semua telur itu tapi mereka mendapatkannya secara individual bukan
karena kerja sama,” kata Song seraya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi
dan menengadahkan kepalanya serta memejamkan kedua matanya.
“Tapi...kulihat dua murid ini...,” kata Aji
sambil menunjuk layar yang menunjukkan Eliana dan Emy yang sedang sibuk mencari
telur hias di taman sekolah. “Mereka tampaknya bekerja sama.”
“Ya. Hanya mereka berdua yang bekerja sama
atau lebih tepatnya hanya kelompok mereka yang bekerjasama. Yang lainnya
buruk!”
“Hm... kalau tidak salah di antara murid
baru, ada yang ikut Akademik Marionette kan?”
“Ya, ada 135 murid dari keseluruhannya. Tapi
kalau mereka tidak bisa bekerja sama, percuma saja mereka masuk Marionette!
Marionette bukanlah tempat untuk pamer! Tapi untuk melindungi negara dari shadow!”
kata Song kesal.
“Ya. Ya. Aku mengerti perasaanmu, Song.
Sabar. Sabar. Jangan marah. Nanti cepat tua loh. Kasihan Signa.”
“Nggak ada hubungannya dengan Signa tahu!”
“Iya. Iya. Tapi kalau kamu tua duluan, ntar
anakmu ngira kamu itu kakeknya bukan ayahnya.”
Song memukul kepala Aji dengan papan ujian
yang menyangga kertas observasinya dengan ekspresi yang menunjukkan dia lagi
nggak mau di ajak bercanda. Aji tertawa menutupi rasa sakit di kepalanya.
“Oh ya. Apa malam ini kita akan patroli
lagi? Kau tahu kan, mereka pasti akan datang,” kata Song.
“Aku sih maunya nggak jaga malam kayak tahun
lalu. Kasihan juga. Sudah jaga malam, mereka juga harus melawan orang-orang
aneh itu,” kata Aji.
“Ya, aku juga merasa kasihan. Lalu apa
solusinya?”
“Aku akan mencoba membujuk adik-adik kita
untuk tidak keluar malam.”
“Apa itu akan efektif?”
“Entahlah. Tapi aku harap ini efektif.”
“Membujuk manusia sebanyak hampir 300 orang
tidak semudah membalikkan tangan. Kau yakin ini akan berhasil?”
“Aku harap begitu.”
“Jadi pada intinya kita akan tetap jaga
malam bukan?”
“Ya begitulah.”
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
=================================================================
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
Kantin sekolah Ashou Sharon yang luas itu
begitu ramai, membuat tim Signa sedikit gelabakan karena para murid baru ada
beberapa yang membandel disuruh untuk mengantri dengan tertib. Dan itu membuat
Signa marah-marah saat ketahuan ada yang tidak tertib.
“Hey, kalian ini kan sudah besar. Sudah
remaja. Yang tertib dong!” ujar Signa kesal.
“Iya sih. Tapi kan kami remaja labil,” ujar
seorang siswi.
“Hey! Kalau diperingatkan itu jangan
mengejek begitu!”
“Masbuloh?” kata siswi itu sambil mulai
memainkan ponselnya dengan tampang tak merasa berdosa.
Kening Signa berdenyut. Darahnya mendidih.
Kesabarannya sudah di ambang batas normal. Dengan amarah yang luar biasa, Signa
melempar sebuah baskom stainless kosong berukuran sedang ke arah siswi yang
sedang duduk di atas meja dan tepat sasaran. Semuanya terdiam seketika. Siswi
itu meringis kesakitan dan berteriak siapa yang melemparnya dengan sebuah
baskom kosong.
“Aku yang melempar. Kenapa? Mau protes?”
kata Signa sambil berkacang pinggang.
“Ya!” kata siswi itu sambil melotot.
“Atas dasar apa?”
“Karena kamu menganiayaku!”
“Oh? Hanya karena itu? Emang kamu punya
berapa taring?”
“Banyak! Ayahku seorang menteri dan ayahku
punya banyak aliansi!”
“Hmph! Jadi anjing negara aja bangga,” ejek
Signa.
“Hey! Jangan mengejek jabatan ayahku
sembarangan!”
Signa memasang wajah jutek dan cuek. Siswi
itu mengepalkan tinjunya.
“Menurutku Marionettelah yang pantas
di sebut anjing negara,” ujar siswi itu.
“Excuse me?”
“Kalian itu mesin pembunuh. Tidak pantas
mengatakan ayahku anjing negara. Kalianlah yang pantas disebut anjing negara.
Karena kalian mesin pembunuh.”
“Kau...−”
Pintu kantin terbuka. Sekumpulan cowok
tampan dan penuh kharisma memasuki kantin SMA Ashou Sharon.
“Ah~. Akhirnya~ aku bisa menikmati masakanmu
Signa-ku sayang~,” kata Song langsung berlari dengan kecepatan cahaya, memeluk
pacarnya-Signa.
“Song, hentikan! Apa-apaan kau ini?! Kau
tidak malu ya sama semuanya?!” kata Signa.
“Selama ada kau, aku tidak akan malu
melakukan apapun.”
“Lepaskan Song! Aku sedang sibuk!”
“Nggak mau,” ujar Song sembari
memonyong-moyongkan bibirnya agar bisa mencium kekasihnya yang lebih tinggi
darinya itu. Tapi sayang, Signa memanfaatkan tinggi tubuhnya untuk menghindari
kemodusannya Song. Teman-teman Signa yang bertugas sebagai tim kosumsi tertawa
kecil melihat tingkah sepasang kekasih itu yang sangat mesra itu.
“Dasar Song. Tak henti-hentinya dia berbuat
yang memalukan begitu di depan semua orang,” kata Kyo.
“Ya memang begitulah dia,” kata Jo.
“Orang yang sedang jatuh cinta itu akan
melakukan apa pun untuk cintanya, karena itu lah kenapa cinta itu buta,” kata
Sam bersyair.
“Oh, jangan lagi,” kata Kyo menyangga keningnya
dengan satu tangan.
“Sam, tak bisakah kau tak bersyair setiap
kau berbicara?” kata Jo.
“Memangnya kenapa?” kata Sam sambil
bersyair.
“Kalau aku boleh jujur, suaramu lebih hancur
daripada suara Rin adiknya Kyo,” kata Jo tanpa ekspresi.
“Kau sungguh jahat Jo~” kata Sam lebay dan
mulai nangis sesunggukkan.
Kyo menghela napas. “Dia nggak pernah
berubah,” kata Kyo geleng-geleng kepala.
“Ya. Kuharap dia masih ‘bisa’ kembali
normal,” kata Jo.
“Hei, ngomong-ngomong, ngapain loe bawa-bawa
nama adik gue?” kata Kyo.
“Masbuloh?” kata Jo santai tanpa merasa
bersalah, berjalan ke meja dapur yang penuh dengan deretan menu makan siang
yang sangat menggiurkan.
Baru menjulurkan tangan ingin mengambil paha
ayam, Jo sudah kena semprot dari Signa.
“Oh, jadi dari sini toh akar dari
ketidaktertiban ini,” kata Signa dengan tatapan kematiannya.
Jo tertawa hambar. “Maaf, Signa. Maaf.”
“Kalau mau makan, tunggu antrian Anda tiba,”
kata Signa dengan kedua tangan dilipat di dada.
Jo terseyum hambar lalu balik badan dan
menunggu antrian selesai di meja kantin.
“Kena semprot ya?” kata Kyo. “Sabar ya?” Kyo
menepuk-nepuk pundak Jo sambil tersenyum sedikit mengejek.
Jo mendengus kesal. Kyo terkekeh melihatnya.
“Dia galak amat sih jadi cewek!” sungut Jo.
Kantin begitu ramai. Semuanya duduk di
kelompoknya masing-masing, bercengkrama-ria. Ada beberapa murid yang bermain
lempar-lemparan hingga Signa harus berkicau lebih kencang lagi dan hampir saja
perang pecah di kantin namun Song segera menggeret pacarnya itu agar semuanya
damai. Namun kekuatan fisik Song tak sebanding dengan amarahnya Signa.
Ditengah-tengah suasana kantin yang hancur kayak kapal pecah, Aji berusaha
meredakannya sejenak dan mendengarkan apa yang ingin disampaikannya.
Aji berdeham keras. “Perhatian semuanya!”
kata Aji dengan suara keras. “Hari pertama MOS berakhir. Semuanya bisa pergi
beristirahat setelah ini. Besok kita akan melaksanakan hari MOS yang kedua.
Akan ada kejutan di MOS besok.”
Semua murid baru bersorak gembira.
“Oh ya, ada satu aturan yang harus kalian
patuhi,” kata Aji memecah sorak kegembiraan itu. “Apapun yang terjadi, kalian
tidak boleh keluar asrama pada malam hari.”
“Kenapa?” tanya seorang siswa berambut
cokelat cepak.
“Akhir-akhir ini banyak sekali penculikan
anak di bawah umur seperti kalian.”
“Untuk apa mereka menculik anak-anak seperti
kami?” kata seorang siswi berambut kuning sepinggang diikat ponytail.
“Aku tidak tahu. Yang jelas...kalian
harus mentaati ucapanku bila kalian ingin masih hidup,” ucap
Aji dengan intonasi yang sangat mengerikan di akhir ucapannya.
Para murid baru tidak bisa berkutik. Mereka
memilih menurut walaupun mereka sangat ingin tahu apa alasan dengan adanya
aturan itu.
***
Eliana dan Emy kembali ke kamar
mereka. Emy sepanjang jalan mengomel tak jelas. Eliana menoleh ke arah Emy dan
berpikir, Emy nampaknya masih kesal kepada Kiki yang tak sengaja menjatuhkan
ayam gorengnya saat makan siang tadi. Eliana lalu menghadap ke depan lagi,
mempercepat langkahnya menuju kamar asrama mereka.
Emy keluar dari kamar mandi sambil
mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Disaat yang bersamaan Eliana
duduk di ranjangnya sambil membaca komik favoritnya.
“Kau tidak mandi Eliana?” kata Emy yang
sudah berpakaian rapi.
“Aku mandi.”−Eliana mendongak−“Kau
sudah selesai?”
“Yup.”
“Baiklah....” Eliana menutup komiknya dan
segera pergi ke kamar mandi.
Tak lama kemudian Eliana keluar dari kamar
mandi dan sedang mengeringkan rambutnya.
Emy membolak-balikkan komik milik Eliana.
“Kau tidak bosan ya membaca komik dari dulu sampai berumur 15 tahun?”
“Tidak,” kata Eliana sambil berjalan ke meja
riasnya untuk meletakkan hairdryer miliknya.
“Kenapa?” kata Emy meletakkan komik di
tangannya ke atas meja kecil samping ranjang Eliana.
“Karena....”−Eliana duduk di kursi meja
belajarnya dan menghadap ke arah Emy−“Komik itu menarik.”
“Apa menariknya?”
“Aku suka cara komikusnya melukiskan semua
ekpresi setiap tokohnya diceritanya dan gambarnya juga bagus.”
“Oh...” kata Emy sambil melihat sejenak
komik milik Eliana. “Ah. Sudah waktunya tidur siang,” katanya sambil berlalu ke
tempat tidurnya
“Ah, iya,” kata Eliana bangkit dari kursi
meja belajarnya.
“Selamat tidur siang Eliana,” kata Emy
sebelum ia menutup kedua matanya dan pergi ke dunia mimpi.
“Selamat tidur.”
“Ah, Eliana.” Emy bangkit dari tidurannya.
“Ya?”
“Em...tidak jadi. Selamat tidur!” kata Emy
dengan segera membenamkan wajahnya di bantalnya.
Eliana masih terpaku bingung di sisi
ranjangnya dengan kaki kanan yang sudah naik ke atas ranjang. Eliana membuat
ekspresi aneh diwajahnya lalu mengangkat kedua pundaknya, seolah-olah ia
berkata “Hm? Apa maksudnya itu?...Ah, biarlah.”
Seorang wanita mengenakkan jas krim dan rok
cokelat yang ketat sebatas lutut, berlenggak-lenggok di sepanjang koridor
asrama dengan santainya. Rambutnya yang berwarna merah, sangat mencolok di
tengah-tengah terangnya koridor asrama. Bunyi sepatu high heels-nya
sangat jelas terdengar 'clank-clank' setiap ia berjalan. Wanita itu kemudian
berhenti di setiap kamar dan menyelipkan sesuatu di bawah pintu.
“Fufufu. The six
symbol. I’ll catch you,” kata wanita itu tersenyum sambil berjalan
meninggalkan asrama murid Ashou Sharon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar