Judul : THE SIX SYMBOL
Pengarang : Eni Hariani
Genre : Action, Fantasy, Supernatural, Sci-fi
Rate : Remaja
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
=================================================================
BAB 4
ELIANA MELAWAN GADIS TAK DIKENAL
“Dari mana kau tahu aku bukanlah temanmu?”
kata wanita itu, yang bernama Angelic Metalica yang tadi menyamar menjadi Emy
Watson, dengan nada datar.
“Mudah. Emy
itu orangnya takut gelap dan takut sendirian, jadi tak mungkin dengan entengnya
ia menyambutku datang. Pastinya ia akan histeris dan memelukku. Ya...palingan
dia akan mengutukku karena aku tak segera kembali.”
“Kau orang
yang sangat meneliti kepribadian orang lain.”
“Tidak. Aku
bukan peneliti. Emy itu temanku saat aku SD dan kami bersebelahan rumah. Tentu
saja aku tahu sedikit tentang kepribadiannya, ya...walaupun dia itu anak baru
di kotaku waktu itu.”
“Persahabatan
kalian sangat erat.”
“Ya
begitulah,” kata Eliana. “Nah sekarang, giliranmu menjawab pertanyaanku.”
“Hmph. Kau
orang yang tipenya serius, to the point, dan...”
“Sudahlah.
Tak usah memperpanjang percakapan ini. Aku perlu informasi itu.”
“Che.
Benar-benar kau ini...,” kata Angelic. “Tiga bulan dari sekarang, kakekmu akan
ada di kota Titanium. Dia akan bertemu dengan seseorang yang bernama Abdi
Kusuma. Abdi Kusuma adalah pensiunan Marionette yang memiliki jaringan
informasi yang kuat,”
“Tiga bulan
dari sekarang....pada tanggal berapa itu?”
“Tanggal 6
September.”
“What?! Itu
kan tanggal kelahiranku!”
“Mungkin
kakekmu ingin merayakan ulangtahunmu yang ke-15.”
“Mm...bisa
jadi.”
“Lalu apa
rencanamu?”
“Sudah
jelas. Aku akan bertanya tentang enam simbol yang ada di dalam diriku dan apa
sangkut pautnya dengan Blaze Spirit.”
Angelica
menatap Eliana cukup lama. “Boleh aku beri saran?”
“Tentu.”
“Urungkan
niatmu.”
“Apa?!”
Eliana bangkit dari ranjangnya.
“Kau
sebaiknya jangan pergi lebih jauh lagi. Aku takut akan-”
“Aku tahu.
Semua keputusan pasti ada resikonya.”
“Kalau kau
sudah tahu lalu kenapa...?”
“Kak
Angelic, coba seandainya kakak di posisi saya, apakah kakak akan berdiam diri
saja?”
Angelic tak
bisa menjawan. Dia menurunkan pandangannya.
“Tidak
bukan?” ulang Eliana.
Angelic
menaikkan pandangannya lagi, menatap seorang gadis yang tinggal beberapa bulan
lagi akan menjadi gadis remaja berusia 15 tahun.
“Aku ingin
tahu, bagaimana kau bisa yakin kalau kakekmu itu masih hidup?”
“Aku tak
menitikkan air mata di depan jasadnya.”
“Apa itu
bisa dijadikan suatu alasan yang kuat?”
“Aku orang
yang tak mudah menangis dan tersenyum. Makanya aku bisa mengetahui kalau
kakekku masih hidup.”
“Hah..! Kau
ini memang aneh dan penuh misteri.”
Angelic
kemudian mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku bajunya dan di lemparkan ke
arah Eliana.
“Kunci apa
ini?” tanya Eliana.
“Itu kunci
ruangan yang kupakai untuk memindahkan semua murid baru dari serangan para shadow.
Berterima kasihlah karena aku masih punya hati kepada manusia.”
“Bukankah
itu memang tugasmu?”
“Apa
maksudmu?”
Eliana
menyunggingkan sebuah senyuman. “Jangan berlagak bodoh. Aku tahu siapa kamu.”
Angelic
sedikit kaget namun hal itu diabaikannya.
“Sepertinya
tugasku sudah selesai.”
“Tunggu,”
cegat Eliana.
“Hm? Apa
lagi?”
“Apa kau
ini...benar-benar seorang shadow?”
“Apa yang
membuatmu bertanya seperti itu?”
“Yang
kutahu, shadow adalah makhluk yang tercipta dari sekumpulan emosi
manusia.”
“Ya, itu
benar.”
“Lalu...kau
ini apa? Manusia atau shadow?”
“....
Keduanya.”
Eliana
terdiam. Ia nampak bingung ingin berkata apa.
“Akan
kujelaskan dengan singkat. Shadow terbagi menjadi dua jenis. Jenis
pertama adalah yang tercipta murni dari emosi manusia. Sedangkan yang jenis
kedua adalah hasil manusia yang dimanipulasi menjadi seorang shadow.”
Eliana
memiringkan kepalanya, mencoba mencerna apa yang dikatakan Angelic.
“Aku tahu
kau masih belum paham. Nanti juga kamu akan paham. Di akademi mengajarkan hal
itu.”
Angelica
membuka jendela kamar Eliana. Mengubah wujudnya menjadi sesosok shadow
bersayap, mirip seperti seekor kelelawar.
“Oh ya, aku
minta maaf atas sikap peliharaanku yang telah menelan dua temanmu hidup-hidup.
Sebenarnya dia itu baik, cuma dia itu agak ekstrim aja kalo nolong orang.
Maafkan dia ya?”
“Ya, aku
udah maafin dia kok. Waktu aku bertarung dengannya dia nangis sambil minta
ampun gitu. Hahaha. Dia lucu banget menurutku.”
“Hahaha.
Begitulah dia. Oh ya, dua temanmu itu selamat kok.”
“Ya, aku
tahu. Peliharaanmu yang mengatakannya padaku.”
Angelica
tersenyum, tak lama kemudian ia meluncur dari ketinggian sekitar 10 meter dan
terbang menjauhi gedung asrama putri. Eliana sedikit berlari ke arah jendela
dan ingin menanyakan tentang surat aneh itu tapi ia kalah cepat dengan Angelic.
“Haahh...
Aku sebaiknya kembali tidur saja.”
Eliana
berjalan pelan ke tempat tidurnya. Ia mulai merebahkan tubuhnya di kasur dan
mulai menutup kedua matanya. Beberapa detik kemudian ia membuka kedua matanya.
“Emy. Aku
harus mencari Emy,” kata Eliana sembari bergegas pergi mencari Emy.
Di lain
tempat, Emy sedang berjalan dengan kewaspadaan yang tinggi. Ia sering lihat
kanan-kirinya berulang kali.
“Eliana...,
kau ada di mana....”
‘KRESEK...KRESEK...’
Emy
tercegat. “S-suara a-apa i-itu?....”
Perlahan-lahan
Emy menggerakkan tubuhnya untuk mencari sumber suara. Kemudian suara itu
kembali terdengar. Emy bergidik ngeri.
“Eliana kau
di mana?!!” kata Emy dalam hati.
=================================================================
The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
=================================================================
“Aneh.
Seharusnya ia tak terlalu jauh,” kata Eliana. “Apa aku harus−”
Iphone
Eliana tiba-tiba berdering. Eliana pun segera merogoh saku jaketnya. Dibukanya
kunci tombol Iphone-nya dan tertulis di sana nama Emy dengan jelas. Eliana pun
menerima panggilan itu.
“Halo
Eliana?”
“Emy? Kau
ada di mana?”
“Aku...aku
nggak tahu...”
“Lho kok
nggak tahu?”
“Di sini
gelap. Aku nggak bisa melihat apapun.”
“Kalau
begitu, apa kamu ingat tempat terakhir sebelum kamu di sana?”
“....”
“Emy?”
“Aku
takut...tolong aku Eliana.”
“Oke. Oke.
Aku akan ke sana. Tapi kamu ada di mana?”
“Aku nggak
tahu.”
“Baiklah.
Terus nyalakan ponselmu biar aku bisa melacakmu dengan GPS-ku. Oke?”
“....”
“Emy?”
“....”
“Eeemy???”
Tak ada
jawaban dari Emy. Eliana kemudian melihat layar Iphone-nya dan terlihat bahwa
percakapan mereka masih berlanjut.
“Jangan
bilang kalau dia...”
“Halo?”
“H-halo?
Emy? Kamu ada−”
“Hm...jadi
kau teman gadis berambut kuning ini ya?”
“Siapa kau?”
“Bukan
siapa-siapa.”
“Apa
maksudmu bukan siapa-siapa?”
Terdengar
tawa kecil di seberang telpon.
“Apa yang
kau tertawakan?”
“Aku
menertawakan diriku.”
“Hah?”
“Aku senang
sekali akhirnya bisa mendengar suaramu.”
“Berhentilah
bercanda dan katakan di mana Emy?”
Tenang saja.
Gadis berambut kuning ini baik-baik saja.”
“Aku tidak
percaya.”
“Hm...?
Kalau begitu, datanglah ke tempat latihan basket. Aku menunggumu di sana.”
“Oke.”
***
Eliana
melebarkan pupil matanya selebar-lebarnya di tengah gelapnya malam.
Berkali-kali layar Iphone-nya disentuhnya untuk membantunya menyusuri jalan ke gedung
tempat latihan basket.
Eliana
membuka pintu ruangan itu dan mencoba mencari stop kontak. Tak lama kemudian
ruangan itu pun terang-benderang. Terlihat betapa bersih dan mengkilatnya
ruangan itu. Tepat di tengah lapangan basket, ada seorang gadis duduk
membelakangi Eliana. Eliana segera berlari dan memanggil nama gadis itu.
“Emy!”
Gadis itu
membalikkan badannya. Wajahnya sembab dan kedua matanya bengkak.
“Eliana,”
ucap gadis itu pelan.
“Eliana!”
ujarnya lagi lebih keras dan berulang kali.
Eliana
memeluk badan Emy yang bergemetaran. Eliana mencoba menenangkan kondisi Emy
yang kacau balau.
“Eliana!
Eliana! Eliana!” panggilnya histeris dalam pelukan Eliana.
“Jangan
takut. Aku ada di sini.”
“Khukhukhu.
Suasana yang sangat dramatis sekali,” ucap seorang perempuan sambil bertepuk
tangan.
Eliana
menoleh ke perempuan yang berada jauh di belakangnya.
“Siapa kau?”
tanya Eliana.
“Bukan
siapa-siapa.”
“Tak bisakah
kau serius sedikit?”
“Bisa. Tapi
itu membosankan.”
“Lebih
membosankan berbicara dengan orang yang banyak gaya sepertimu.”
Ekspresi
perempuan itu berubah menjadi serius. Nampaknya ia tersinggung dengan ucapan
Eliana barusan. Kemudian perempuan itu menyeringai.
“Apa yang
kau inginkan sebenarnya?” tanya Eliana.
“The six
symbol.”
“Ohhh....
Aku punya salah satunya. Kau mau?” ujar Eliana sambil memunculkan sebuah pedang
bermata dua di tangan kanannya.
Perempuan
itu tersenyum. “Yes, I want it.”
Eliana
menyeringai.
“Oke. Tapi
kau harus melangkahi mayatku dulu baru kau bisa mendapatkannya,” ujar Eliana
sambil menghilangkan pedang itu dari tangan kanannya.
“Kalau
begitu, aku tak punya pilihan,” ujar perempuan itu. “Aku akan mengambilnya secara paksa!!!”
Perempuan
itu melesat ke arah Eliana dengan sebuah pedang panjang dan besar muncul di
tangan kirinya. Perempuan itu meloncat ke atas dan bersiap mendarat tepat di
atas Eliana. Eliana secara refleks mengendong tubuh Emy dan melesat melarikan
diri.
Perempuan
itu menarik pedangnya yang tadi cukup kuat membuat retakan di lapangan basket
dan berlari lagi ke arah Eliana. Eliana meminta Emy untuk berpegangan lebih
erat di tubuhnya dan Eliana melompat, berlari di antara tempat duduk dan
melompat keluar menembus kaca gedung basket itu.
Eliana terus
berlari sambil menggendong Emy layaknya pengantin baru ke tempat yang lebih aman.
Eliana meletakkan tubuh Emy dan beristirahat sebentar. Emy menatap Eliana yang
cukup kelelahan. Emy kemudian mengeluarkan tisu dari saku jaketnya dan ia mulai
mengelap bulir-bulir keringat Eliana.
“Eliana,
maafkan aku. Seandainya saja aku...−”
“Tidak....
Kau tidak...melakukan kesalahan..., Emy...,” potong Eliana dengan napas yang
tersengal-sengal.
“Tapi itu
kesalahanku Eliana. Seandainya aku menuruti perkataanmu, tentu kita tidak akan
begini.”
Eliana
tersenyum, berusaha membuat teman kecilnya itu tidak terlalu menyalahkan
dirinya sendiri.
***
Malam ini
bulan bersinar dengan terang. Eliana melihat jam pada Iphone-nya dan ternyata
sudah hampir tengah malam. Eliana melihat ke samping di mana Emy kini tengah
tidur bersandar di bahu kanannya. Eliana menyandarkan kepalanya dan mencoba
untuk tidur.
‘KRIK...KRIK...KRIK...’
Eliana
membuka kedua matanya. Memasang kedua telinganya untuk memastikan bunyi tadi
hanyalah ilusi. Setelah berselang beberapa saat bunyi itu terdengar lagi.
Tangan kanan Eliana mengguncang badan Emy.
“Hm?...Ada
apa Eliana?” ujar Emy yang masih setengah bangun.
“Ayo kita
pergi ke asrama.”
“Kenapa? Apa
semua sudah aman?”
“Ya,
semuanya sudah aman. Ayo.” Eliana menarik lengan kiri Emy agar ia berdiri.
“Aku masih
mengantuk...,” keluh Emy.
“Kalau
begitu naiklah ke punggungku. Aku akan memanggulmu hingga ke asrama.”
“Tak apa?
Berat badanku bertambah loh...”
“Ya, tak
apa. Ayo cepat. Cuaca di sini sudah semakin dingin.”
“Um...”
Emy dengan
mata yang setengah terbuka dan jiwa yang setengah sadar, mencoba untuk naik ke
punggung Eliana. Eliana pun ikut membantu temannya itu untuk bisa naik
kepunggungnya dengan benar. Setelah itu, Eliana dengan mengendap-endap keluar
dari samping gedung perpustakaan dan dengan secepat mungkin melesat ke asrama.
Suasana
sekolah yang minim pencahayaan di malam hari, membuat Eliana ekstra hati-hati.
Eliana mencoba menggunakan simbol ALFIERE untuk membantunya kembali ke asrama.
Tapi karena kemampuan yang masih belum matang, Eliana hanya bisa memakai
sebentar dan itupun hasilnya tidak jelas.
Eliana
berhenti sejenak, membenar posisi Emy yang tertidur pulas di punggungnya, yang
hampir jatuh. Kemudian Eliana mencoba lagi menggunakan simbol ALFIERE, alhasil
kepala Eliana yang pusing.
“Ukh. Sial.
Aku belum bisa mengendalikannya. Bagaimana ini?”
Di saat
Eliana sedang sibuk berjalan pelan menyusuri tempat yang remang-remang,
perempuan yang mengejar mereka berdua tadi datang dari arah belakang.
Mengetahui itu Eliana pun segera berlari dan berusaha mengingat jalur yang ia
tempuh saat ini.
“Ah, sial!
Kenapa dia mesti datang sih?!” gerutu Eliana dalam hati.
Karena
Eliana berlari sangat hati-hati, perempuan itu berhasil mengejar dan menghadang
tepat di depan Eliana.
“Bingo!”
ucap perempuan itu yang tak selang beberapa saat terdengar gelak tawa darinya
yang membuat Eliana enggan mendengarnya.
“Kau tak
bisa kemana-mana lagi. E-li-a-na No-va,” ujar perempuan itu senang sambil
menyeringai, terkekeh di gelapnya malam.
“Sekarang
saatnya kau menerima kematianmu, ELIANA NOVA,” ujar perempuan itu lagi sambil
mengayunkan pedangnya ke arah Eliana.
Eliana
dengan sigap menghindar sejauh mungkin. Belum sempat Eliana menyembunyikan Emy
di tempat yang aman, perempuan itu datang menyerang. Eliana mengaktifkan simbol
QUEEN untuk membantunya bertahan.
“Booodoh.
Kau pikir, rantai murahan ini bisa menghadang pedangku, hah? JANGAN BERCANDA.”
“Che.”
“Hmph. Anak
ini menarik.”
Perempuan
itu menekan pedangnya ke arah Eliana dan Eliana terus menahan pedang itu dengan
rantainya yang berputar teratur melindungi tubuhnya. Semakin kuat Eliana
mempertahankan rantainya, semakin kuat pula perempuan itu mendorong pedangnya.
“Aku harus
menemukan cara untuk memukulnya mundur,” ujar Eliana dalam hati.
“Hmmm. Dia
lumayan juga sebagai penerus pemilik enam simbol. Dia bisa bertahan samapai
detik ini. Tapi...”−perempuan itu menyeringai dan mendorong pedangnya ke depan
lebih kuat lagi−“apakah benar dia bisa melampaui pengguna sebelumnya? Aku
penasaran,” ucap perempuan itu dalam hati.
Eliana
memperkuat daya penahan pada rantainya. Pikirannya terus berjalan menyusun
strategi.
“Aku harus
bisa melakukannya,” ucap Eliana dalam hati.
Eliana
menapakkan tangan kanannya ke tanah, mengaktifkan simbol QUEEN di tangan
kanannya. Eliana mencoba berkonsentrasi memberikan perintah pada rantainya
untuk bergerak sesuai rencananya.
Sambil berkonsentrasi
bertahan, Eliana juga berkonsentrasi untuk menyerang. Ini cukup menyulitkannya
karena ia belum pernah melakukan dua tugas secara bersamaan. Tapi tak ada
salahnya mencoba, begitulah yang dipikirkan oleh Eliana.
Eliana terus
berusaha mencapai rencananya dan nampaknya perempuan itu menyadari rencana
Eliana. Perempuan itu memindah tangan yang memegang pedangnya ke tangan
kanannya. Kemudian tangan kirinya mengeluarkan sebauh cakar-cakar yang tajam
dan dikibaskan ke wajah Eliana dengan keras hingga rantai Eliana tak sanggup
menahannya.
Eliana pun
terlempar cukup jauh ke kiri. Perempuan itu menghilangkan pedang besarnya dan
berjalan santai ke arah Eliana. Eliana bangkit dan mengusap darah yang mengucur
dari luka di pipi kirinya.
“Pertarungan
yang cukup menarik. Kau bisa menahan pedangku hanya dengan cara sesimpel itu
dan kau tadi hampir saja berhasil menggerakkan rantaimu untuk menyerangku dari
belakang. Aku sangat terpesona dengan rencanamu. Tapi...,” perempuan itu terus
menghentikan langkahnya. “apakah kau kali ini bisa menahan seranganku yang
selanjutnya?”
Sebuah aura
hitam bercampur ungu gelap dan ungu terang keluar dari seluruh tubuh perempuan
itu, mengepul menjadi memunculkan sebuah senjata yang sangat gelap,penuh
kebencian dan amarah. Eliana meremas jari-jari tangan kanannya, menahan aura
gelap itu.
“Mei...,”
lirih Eliana.
Perempuan
itu telah selesai memanggil senjata terkuatnya. Eliana pun sudah mengaktifkan
simbol KNIGHT untuk membantunya bertarung. Perempuan itu bergerak lebih dulu.
Eliana berfokus untuk bertahan dengan menggunakan simbol QUEEN yang diaktifkan
di tangan kirinya. Perempuan itu terus menerus menyerang Eliana, berusaha
menembus tembok rantai Eliana. Eliana apun tak mau kalah, ia terus bertahan
sambil mempelajari gerakan perempuan itu bertarung.
Sebuah celah
pun terlihat. Eliana kemudian melonggarkan sedikit pertahanannya untuk
memperbesar celah itu. Dan dugaan Eliana benar, perempuan itu memanfaatkan
pertahanan Eliana yang melonggar dan Eliana memanfaatkan gerakan perempuan itu saat
perempuan itu mengayunkan pedanganya lebih keras lagi ke arah Eliana.
‘DUAAARRR’
“Hm? Suara
apa itu? Apa Aji masih terjaga?”
Micky
membuka kedua matanya.
“Hm? Gelap.
Lalu tadi?”
Cahaya ungu
bercampur merah muda terlihat. Micky segera bangun dari tidurnya dan segera
membuka gorden jendela kamarnya.
“Ini...”
Micky berjalan cepat ke tempat tidur Aji.
“Aji. Aji.
Bangun. Mereka datang, Aji. Aji!!” ujar Micky sambil mengguncang tubuh Aji yang
masih tertidur pulas.
Kedua mata
emeraldnya membulat sempurna. “Ini...teratai hitam...SIAL!”
Pertarungan
terus berlangsung. Gesekan antar dua pedang yang menimbulkan percikan api terus
terdengar.Gerakan kedua petarung ini sangatlah lincah, mulai dari menangkis,
menyerang, dan bertahan. Hanya satu permasalahan dalam pertarungan ini.
Eliana mulai
kelelahan karena ini pertama kalinya ia bertarung seperti ini. Untuk pertama
kalinya ia bertarung harus menggunakan kekuatan enam simbolnya dan saat ini ia
langsung menggunakan dua simbol. Seperti yang kalian ketahui, seorang pemula
bila melakukan dua tugas sekaligus pasti gelabakan. Ya seperti itulah yang
dirasakan oleh Eliana. Walaupun ia sudah bertahun-tahun belajar ilmu bela diri
dan ilmu pedang, itu tak membuatnya unggul dalam pertarungan ini.
“Hah? Apa
cuma segini kemampuan seorang pengguna enam simbol? Cih! Memalukan!” olok
perempuan itu yang diketahui bernama Mei, saat melihat Eliana yang sudah
diambang batas kekuatannya.
“Terserah
kau... mau bilang apa....” Eliana menancapkan pedangnya ke tanah dan berusaha
mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku berjanji..., kalau aku...diberi
kesempatan kedua...aku akan membayar kekalahanku....”
Mei
menyeringai.
“Menarik. Aku
jadi ingin mengujinya lagi. Lagi dan lagi.”
Mei
tersenyum. “Sepertinya kau sudah diambang batasmu. Tapi tenang saja. Aku akan
segera mengakhiri pertarungan ini dalam waktu sesingkat-singkatnya, Eliana.”
Mei
menyeringai lagi.
“Eliana...,”
ucap Emy pelan.
“Do what you want,” ucap Eliana.
Emy terkejut
mendengar ucapan Eliana barusan.
Mei
menyeringai lebih lebar dan penuh kegembiraan, ia menyambut ucapan Eliana
dengan pedang besarnya yang kini mulai berayun ke arah Eliana. Emy ingin
menghentikan pertarungan ini namun tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun karena
ia masih ketakutan.
“Kumohon,
siapa saja selamatkan Eliana!!!” kata Emy dalam hati.
‘TRAAANG’
Bunyi dua
pedang saling bertemu. Emy membuka kedua matanya dan bernapas lega melihat
seorang pemuda tengah melindungi Eliana dari dewi pencabut nyawanya Eliana. Emy
segera berterima kasih kepada Tuhan karena Ia telah mengabulkan doanya.
“Cukup
sampai di sini permainanmu,” ucap Micky yang menolong Eliana dari eksekusi
kematiannya.
“Che.
Marionette,” umpat Mei.
‘BRUK’
Tubuh Eliana
menyentuh tanah. Pedang di tangan kanannya menghilang tak berbekas bersamaan dengan
menghilangnya simbol kepala kuda dan dua pedang yang saling bersilangan di
punggung tangan kanannya.
Pertarungan
pun dilanjutkan antara Mei dan Micky. Mereka berdua berpindah ke tempat yang
lebih pantas dan aman. Setelah keduanya pergi, Emy segera menghampiri Eliana
yang kini tak sadarkan diri.
Tubuh Eliana
sangat panas dan napasnya terasa panas. Emy mengangkat kepala Eliana ke dalam
pangkuannya dan mencoba mengurangi demam pada tubuh Eliana. Tak lama kemudian
datanglah seseorang dengan sebuah senter di tangan kanannya. Emy mendongakkan
kepalanya melihat siapa yang datang.
“Maaf, aku
terlambat,” ujar Aji dengan napas yang tersengal-sengal.
Emy kemudian
tersenyum dan mengucurkan air mata. Aji jadi bingung melihat tingkah Emy.
=================================================================
=================================================================The Six Symbol Novel Indonesia and English Version
© Eni Hariani
Dilarang mengcopy-paste isi novel ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar